[Tentang Rara  Isti Wulandari]
Di Mandalika engkau menari. Meliuk lenggang-lenggok. Di antara bilah-bilah hujan yang menikami aspal lintasan balap. Diiring denting, denging, dan dengung mistikal mangkok pendendang di telapak tanganmu.Â
Teguh dan tabah. Engkau membujuk langit nan duka lewat lantunan nada-nada alam:
"Jangan lagi engkau menangis. Wahai, langit jembar di atas kepala kami. Hapuslah air matamu. Singkirkan awan gelap di wajahmu. Tersenyumlah. Tertawalah. Bersukacitalah dengan kami di pesta sejagad."
Di Mandalika engkau sujud. Bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Atas redanya tumpahan air mata duka langit. Atas raung dan desing para kuda besi yang bersicepat di lintasan balap. Atas tempik sorak penonton di tribun dan di depan layar-layar monitor antero bumi. Atas pendar-pendar keemasan sinar mentari pada riak air yang berkejaran di pantai.
Merendah diri engkau daraskan doa umat kecil nan mahadina:
"Ya Tuhanku, Ya Allahku. Semua ini terjadi karena kehendak-Mu. Sebab tak ada kebaikan yang berasal dari kejahatan."Â
Di Mandalika engkau menari dan menyanyi. Menghibur langit nan duka berurai air mata. Di sana engkau mengusung tradisi di depan modernitas. Meletakkan kearifan di depan kecepatan.Â
Engkau, ya, engkau. Putri pengendali hujan, berayahkan mentari beribukan pertiwi. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H