Engkong Felix muda sedikit pusing selepas seminar kecil tentang kemiskinan di Ende di kantor Bupati. Saya bilang Engkong Felix muda karena peristiwanya tahun 1990-an.
Kepusingan itu berpangkal pada dua soal. Pertama, Pak Sekda marah-marah pada bawahannya karena Engkong muda berhasil menemukan gejala kemiskinan di kabupatennya. Padahal, barangkali, sudah disembunyikan rapat-rapat.
Kedua, salah seorang staf Pemda, Longinus SE, membantah temuan Engkong muda dengan argumen-argumen yang tak mencerminkan gelar SE, sarjana ekonomi. Diberitahu kemudian, SE itu ternyata marga, bukan gelar. Ah, marga orang Ende Lio ternyata bisa bikin salah duga.
Saat di terminal Ende mencari bus menuju Wolowaru, Engkong tambah pusing lagi. Dia menjadi rebutan calo oto Damri dan bus partikelir. Â Dia dirayu dari kiri dan kanan.
Di kanan ada oto Damri tua yang rebta. Bodinya sudah penyok-penyok dan berkarat. Terkesan akan copot dari sasisnya jika dijentik telunjuk. Kerentaan yang mencerminkan pengabdian dan perjuangan panjang di jaringan jalan raya trans-Flores yang tak mudah dilalui.
Di kiri ada oto partikelir yang masih mulus. Tampak gagah dalam kebaruannya. Simbol pembangunan dan kemajuan transportasi trans-Flores.Â
"Sudah, Bapa. Ikut Damri sudah. Kita pu bodi memang kalah. Tapi kita pu mesin juara. Boleh diadu."
Calo Damri berusaha meyakinkan Engkong yang tampak pusing dan bingung menentukan pilihan.
Terpicu oleh patriotismenya, Engkong kemudian memutuskan naik oto Damri. "Tenang, sudah. Kita pasti aman, Bapa." Eja Calo masih berusaha menenangkan jiwa Engkong.
Apa yang dipusingkan Engkong tentang oto Damri itu sungguh terjadi. Walau hanya 50 persen. Artinya tak sampai celaka, tapi seakan menuju celaka.