Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

BRIN, Politik Riset, dan Kerbau Belang Toraja

20 Januari 2022   15:37 Diperbarui: 21 Januari 2022   17:15 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerbau jenis saleko adalah kerbau termahal, bisa lebih dari Rp 1 miliar per ekor, di lingkungan budaya Toraja. (Foto: KOMPAS.COM/ARBAIN RAMBEY)

Isu politisasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kini sedang mengemuka. Lantaran BRIN dilengkapi perangkat Dewan Pengarah yang beranggotakan tokoh-tokoh politik, pemerintah/birokrasi, ekonomi/bisnis, lingkungan, dan sosial.  Ketuanya  Megawati Soekarnoputri,  Ketua Umum PDIP yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, memang pernah bilang kehadiran Dewan Pengarah itu untuk memastikan kerja BRIN sejalan dengan Pancasila. Itu antara lain alasan pengangkatan Megawati sebagai Ketua. Sesuai dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP. Setidaknya secara formal, kepancasilaannya tak perlu diragukan. 

Penolakan sebuah forum guru besar alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari sejumlah kampus agaknya bisa mewakili pandangan kontra terhadap keberadaan Dewan Pengarah BRIN. Termasuk kontra pada pengangkatan Megawati sebagai ketuanya.[1]

Alasan penolakan oleh forum itu adalah, pertama, kehadiran Dewan Pengarah dalam lembaga riset dinilai tak wajar. Sebab dunia riset dibangun oleh para  profesor/doktor yang memiliki rasionalitas atau cara pikir logis. 

Kedua, Dewan Pengarah dikhawatirkan membatasi kebebasan akademik. Riset harus sejalan idiologi Pancasila dan mendukung kepentingan pemerintah.

Ketiga, BRIN ditakutkan menjadi partisan atau instrumen partai politik yang berkuasa. Sehingga produk riset akan terdegradasi menjadi argumen-argumen pseudosains untuk mendukung hegemoni partai politik tertentu. Kondisi semacam itu disebut sebagai bunuh diri di bidang riset.

Pertanyaannya, apakah ketiga alasan di atas dapat diterima sebagai argumen yang kuat, sehingga bisa menjadi dasar pembatalan keberadaan Dewan Pengarah BRIN? 

***

Saya akan coba jawab pertanyaan di atas secara ringkas. Jawaban saya pada intinya menunjukkan tiga alasan itu tidak mencerminkan cara pikir logis.

1. Rasionalitas dan cara pikir logis bukan monopoli profesor doktor. 

Alasan pertama mengesankan hanya golongan saintis bergelar profesor/doktor yang punya rasionalitas, cara pikir logis. Lainnya tidak. Sehingga BRIN harusnya hanya diisi saintis profesor/doktor. 

Argumen seperti itu tergolong sesat pikir ad hominem. Hendak disebut di situ, anggota Dewan Pengarah BRIN tidak punya rasionalitas karena mereka bukan saintis, walau mungkin unya gekar akademis.  Karena itu, mereka tak layak mengurusi ranah riset.

Selain ad hominem, argumen forum guru besar tadi gagal menerima fakta bahwa kehadiran lembaga riset seperti BRIN tak semata-mata menyangkut aspek operasional riset. Tapi juga mengandung aspek politik pada dirinya.

Suatu kegiatan riset tak berlangsung di ruang hampa. Tapi selalu terjadi dalam konteks politik tertentu. Dengan kata lain, tidak ada riset yang bebas nilai, khususnya kepentingan politik negara.  Riset bukan lagi demi riset dan kemegahan periset, "menara gading" ala Aristoteles. Tapi, seperti ditegaskan Francis Bacon, riset adalah demi kemaslahatan manusia.

Orientasi kemaslahatan manusia pada riset itu adalah ranah politik suatu negara. Diselaraskan dengan idiologi negara itu. Karena itu tak ada lembaga riset negara, seperti BRIN, yang bebas dari kepentingan politik. 

Fakta ekstrimnya begini. Kepentingan politik lembaga riset negara Amerika Serikat adalah menguatkan dan meluaskan pengaruh idiologi liberalisme/kapitalisme.  Sedangkan di Rusia dan China, untuk menguatkan dan meluaskan pengaruh sosialisme/komunisme.

Lalu di Indonesia? Harusnya menguatkan dan meluaskan pengaruh idiologi Pancasila. Faktanya? Dunia riset Indonesia mendapat pengaruh kuat dari paham liberalisme/kapitalisme Eropa Barat dan Amerika Utara.  Akibatnya nilai atau kepentingan dalam riset Indonesia justru n1enguatkan pengaruh idiologi asing di sini.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN,  Rabu 13/10/2021.(Foto: Dok. PDI-P)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN,  Rabu 13/10/2021.(Foto: Dok. PDI-P)

2. Politik riset menguatkan karakter kegiatan dan hasil riset nasional. 

Apakah riset di Indonesia memiliki karakter Indonesia? Tidak. Riset kita sejauh ini punya karakter non-Indonesia yaitu bias liberalisme/kapitalisme Barat. Sebagai buah indoktrinasi Barat lewat jalur beasiswa pendidikan tinggi. 

Hasilnya, Indonesia kini menjadi pasar bagi kapitalisme Barat dan, kemudian, Asia Timur. Itu ironi. Di satu sisi para saintis kita mengritik dominasi liberalisme dalam politik kita. Juga mengritik dominasi kapitalisme dalam ekonomi kita. Tapi di lain sisi mereka bertahan pada kerangka liberalisme/kapitalisme dalam kegiatan risetnya. 

Kehadiran Dewan Pengarah BRIN malahan ditolak karena dinilai akan membatasi kebebasan akademik. Riset akan dipaksakan sesuai idiologi Pancasila dan kepentingan pemerintah. 

Logikanya di mana. Di satu sisi para periset kita kini menghamba pada kepentingan liberalisme/kapitalisme negara-negara Barat dan Asia Timur. Itulah yang mereka klaim sebagai "kebebasan akademik".

Sekarang, saat pemerintah membentuk Dewan Pengarah BRIN untuk memastikan idiologi Pancasila, dan UUD 1945, sebagai nilai atau kepentingan riset nasional, kok malah timbul penolakan. 

Wajar jika timbul pertanyaan apakah para periset kita sudah menjadi antek liberalisme/kapitalisme Barat dengan misi menjauhkan bangsa Indonesia dari idiologi Pancasila?

Argumen bahwa Dewan Pengarah akan membatasi kebebasan akademik, dengan pagar idiologi Pancasila dan kepentingan pemerintah, itu sejatinya tergolong sesat pikir strawman, orang-orangan sawah. Itu adalah pengalihan ke isu "pembatasan kebebasan akademik". 

Isu sesungguhnya adalah perubahan muatan idiologi riset dari liberalisme/kapitalisme  ke Pancasila/gotong-royong. Para periset resisten, menolak keluar dari zona nyaman, konteks liberalisme/kapitalisme. Mereka menolak perubahan karakter ke riset Pancasilais.

Lalu muncul tuduhan bahwa Dewan Pengarah BRIN akan melarang, misalnya, riset tentang khilafah dan separatisme Papua. Tentu saja akan dilarang jika tujuannya untuk menegakkah khilfah di Indonesia, atau mendukung kemerdekaan Papua.

3. Kehadiran Dewan Pengarah tak akan menjadikan BRIN sebagai instrumen partai politik berkuasa.

Ketakutan bahwa Dewan Pengarah akan menjadikan BRIN instrumen pendukung kepentingan partai adalah sesat pikir "perumuman sembarang" (hasty generalization).

Betul Megawati itu Ketum PDIP, tapi dia menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN karena posisinya sebagai Dewan Pengarah BPIP. Jadi misi utama di BRIN bukan menjadikannya instrumen partai, tapi memastikan Pancasila sebagai idiologi riset BRIN. 

Apalagi jika sudah menyangkut riset nuklir (BATAN), keantariksaan (LAPAN), dan biologi molekuler (Eijkman). Sangat berisiko jika riset nuklir, antariksa, dan biologi molekuler berada di tangan periset berhaluan anti-Pancasila dan anti-NKRI. 

Perlu diingat BRIN bukan lembaga yang bebas dari kontrol sosial dan politik. Ada lembaga DPR  yang wajib mengontrol visi, misi, strategi, dan program riset BRIN.  Agar tak melenceng dari Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Tugas masyarakat madani juga untuk mengingatkan hal itu.

Lagi pula anggota BRIN itu, kecuali Megawati, bukanlah orang partai. Upaya mengarahkan BRIN sebagai instrumen partai, bagaimanapun, akan mendapat perlawanan dalam internal Dewan Pengarah sendiri.

***

Paparan di atas mungkin terlalu abstrak dan sedikit susah dipahami. Saya akan menariknya ke aras mikro, dengan mengambil kasus riset pembentukan pola warna pada kerbau belang Toraja. Hasil riset itu sudah diumumkan Ronny R. Noor di Kompasiana baru-baru ini.[2]

Kerbau belang Toraja itu adalah kekayaan plasma nutfah khas Indonesia. Tidak ada di tempat lain di dunia ini. 

Fungsi adat kerbau belang sangat penting untuk upacara kematian dalam masyarakat Toraja. Korban kerbau belang adalah keharusan adat. Tetap dibeli walau harganya bisa mencapai ratus juta sampai milyar rupiah.

Masalahnya populasi kerbau belang Toraja dihadapkan pada risiko kepunahan. Karena tingkat kesuburan yang rendah. Serta tingkat mortalitas embrio dan anaknya tinggi. Suatu saat kerbau belang bisa punah, dan nilai adat kematian orang Toraja akan memudar.

Kerbau jenis saleko adalah kerbau termahal, bisa lebih dari Rp 1 miliar per ekor, di lingkungan budaya Toraja. (Foto: KOMPAS.COM/ARBAIN RAMBEY)
Kerbau jenis saleko adalah kerbau termahal, bisa lebih dari Rp 1 miliar per ekor, di lingkungan budaya Toraja. (Foto: KOMPAS.COM/ARBAIN RAMBEY)
Karena itu, keberadaan kerbau belang Toraja harus dilestarikan, dengan cara menemukan rahasia pembentukan pola belangnya. Sebuah tim riset gabungan telah melakukan riset tersebut. Terdiri dari periset dari Fakultas Peternakan IPB, Fakultas Kedokteran Hewan IPB University,  LIPI, Swedish Agriculture University (SLU, Swedia) dan Uppsala University (Swedia).

Dengan cara menganalisis DNA pada materi genetik sperma kerbau belang yang telah dikorbankan, tim riset akhirnya berhasil menemukan rahasia pembentukan pola belang pada kebau Toraja. Analisis DNA itu difokuskan pada  gen microphthalmia-associated transcription factor (MITF) yang mengatur kemunculan warna totol totol pada kerbau rawa Asia.

Hasil analisis menunjukkan kemunculan pola belang pada kerbau Toraja disebabkan dua mutasi independen DNA di gen MITF. Pertama, premature stop codon (c.328C>T, p.Arg110*) dan, kedua, donor splice-site mutation (c.840+2T>A, p.Glu281_Leu282Ins8).  

Temuan rahasia pembentukan pola  belang pada kerbau Toraja itu sangat penting dalam upaya pelestariannya. Hal itu memungkinkan embrio kerbau belang yang memiliki mutasi pembentukan belang  spesifik dapat digunakan untuk perbanyakan populasi kerbau belang. Itu bisa mencegah kepunahan kerbau belang Toraja.

Dengan diketahuinya penyebab dan mekanisme kemunculan warna belang pada kerbau Toraja ini maka keberadaan kerbau belang, salah satu plasma nutfah khas Indonesia, dapat dilestarikan.

Menariknya, dari diskusi singkat dengan Ronny R. Noor, hasil riset itu hanya akan digunakan untuk pelestarian kerbau belang Toraja di daerah Toraja sendiri. Tidak ada upaya kapitalisasi hasil riset untuk pengembangan populasi kerbau belang Toraja di daerah atau negara lain. Penghargaan pada keunikan plasma nuftah lokal dan budaya lokal bersifat mutlak di sini.

Bisa dibayangkan, jika Ronny R. Noor dan kawan-kawan periset Indonesia terpapar idiologi liberalisme/kapitalisme, temuan itu mungkin akan dikomersilkan ke pasar inovasi dunia. 

Hanya karena Ronny R. Noor dan kawan-kawan berpegang teguh pada Pancasila, khususnya terkait pelestarian kebhinnekaan plasma nutfah nasional, maka mereka membangun komitmen hanya akan menggunakan temuan itu untuk kepentingan orang Toraja.

Riset pola belang kerbau Toraja oleh Ronny R. Noor dan kawan-kawan itu adalah contoh gemilang riset berbasis ideologi Pancasila. Para periset berhasil menegakkan nasionalismenya. Mereka hanya akan menggunakan hasil riset untuk menguatkan kemajemukan sosial bangsa dan keanekaragaman hayati nasional.

Kinerja Ronny R. Noor dan kawan-kawan adalah model kedaulatan riset berbasis ideologi Pancasila yang ditargetkan BRIN dan Dewan Pengarah BRIN. Tidak ada pemberangusan kebebasan akademik di situ. Yang terjadi adalah artikulasi kebebasan akademik untuk penguatan masyarakat Pancasilais, NKRI, dan bhinneka tunggal ika.

Bisa dikatakan BRIN dan Dewan Pengarah BRIN bermaksud menegakkan riset nasional berbasis ideologi Pancasila di Indonesia. Dengan kata lain periset kita tak akan lagi menguatkan ideologi bangsa dan negara lain, melainkan ideologi bangsa dan negara sendiri. Singkat kata, kedaulatan riset nasional.(eFTe)

Rujukan:

[1] "Polemik Jokowi Lantik Megawati jadi Ketua Dewan Pengarah BRIN", tirto.id, 14/10/2021. 

[2] Ronny R. Noor, "Menguak Rahasia Kerbau Belang Toraja", kompasiana.com, 16/01/2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun