Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

BRIN, Politik Riset, dan Kerbau Belang Toraja

20 Januari 2022   15:37 Diperbarui: 21 Januari 2022   17:15 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN,  Rabu 13/10/2021.(Foto: Dok. PDI-P)

Alasan pertama mengesankan hanya golongan saintis bergelar profesor/doktor yang punya rasionalitas, cara pikir logis. Lainnya tidak. Sehingga BRIN harusnya hanya diisi saintis profesor/doktor. 

Argumen seperti itu tergolong sesat pikir ad hominem. Hendak disebut di situ, anggota Dewan Pengarah BRIN tidak punya rasionalitas karena mereka bukan saintis, walau mungkin unya gekar akademis.  Karena itu, mereka tak layak mengurusi ranah riset.

Selain ad hominem, argumen forum guru besar tadi gagal menerima fakta bahwa kehadiran lembaga riset seperti BRIN tak semata-mata menyangkut aspek operasional riset. Tapi juga mengandung aspek politik pada dirinya.

Suatu kegiatan riset tak berlangsung di ruang hampa. Tapi selalu terjadi dalam konteks politik tertentu. Dengan kata lain, tidak ada riset yang bebas nilai, khususnya kepentingan politik negara.  Riset bukan lagi demi riset dan kemegahan periset, "menara gading" ala Aristoteles. Tapi, seperti ditegaskan Francis Bacon, riset adalah demi kemaslahatan manusia.

Orientasi kemaslahatan manusia pada riset itu adalah ranah politik suatu negara. Diselaraskan dengan idiologi negara itu. Karena itu tak ada lembaga riset negara, seperti BRIN, yang bebas dari kepentingan politik. 

Fakta ekstrimnya begini. Kepentingan politik lembaga riset negara Amerika Serikat adalah menguatkan dan meluaskan pengaruh idiologi liberalisme/kapitalisme.  Sedangkan di Rusia dan China, untuk menguatkan dan meluaskan pengaruh sosialisme/komunisme.

Lalu di Indonesia? Harusnya menguatkan dan meluaskan pengaruh idiologi Pancasila. Faktanya? Dunia riset Indonesia mendapat pengaruh kuat dari paham liberalisme/kapitalisme Eropa Barat dan Amerika Utara.  Akibatnya nilai atau kepentingan dalam riset Indonesia justru n1enguatkan pengaruh idiologi asing di sini.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN,  Rabu 13/10/2021.(Foto: Dok. PDI-P)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN,  Rabu 13/10/2021.(Foto: Dok. PDI-P)

2. Politik riset menguatkan karakter kegiatan dan hasil riset nasional. 

Apakah riset di Indonesia memiliki karakter Indonesia? Tidak. Riset kita sejauh ini punya karakter non-Indonesia yaitu bias liberalisme/kapitalisme Barat. Sebagai buah indoktrinasi Barat lewat jalur beasiswa pendidikan tinggi. 

Hasilnya, Indonesia kini menjadi pasar bagi kapitalisme Barat dan, kemudian, Asia Timur. Itu ironi. Di satu sisi para saintis kita mengritik dominasi liberalisme dalam politik kita. Juga mengritik dominasi kapitalisme dalam ekonomi kita. Tapi di lain sisi mereka bertahan pada kerangka liberalisme/kapitalisme dalam kegiatan risetnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun