Isu politisasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kini sedang mengemuka. Lantaran BRIN dilengkapi perangkat Dewan Pengarah yang beranggotakan tokoh-tokoh politik, pemerintah/birokrasi, ekonomi/bisnis, lingkungan, dan sosial.  Ketuanya  Megawati Soekarnoputri,  Ketua Umum PDIP yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, memang pernah bilang kehadiran Dewan Pengarah itu untuk memastikan kerja BRIN sejalan dengan Pancasila. Itu antara lain alasan pengangkatan Megawati sebagai Ketua. Sesuai dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP. Setidaknya secara formal, kepancasilaannya tak perlu diragukan.Â
Penolakan sebuah forum guru besar alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari sejumlah kampus agaknya bisa mewakili pandangan kontra terhadap keberadaan Dewan Pengarah BRIN. Termasuk kontra pada pengangkatan Megawati sebagai ketuanya.[1]
Alasan penolakan oleh forum itu adalah, pertama, kehadiran Dewan Pengarah dalam lembaga riset dinilai tak wajar. Sebab dunia riset dibangun oleh para  profesor/doktor yang memiliki rasionalitas atau cara pikir logis.Â
Kedua, Dewan Pengarah dikhawatirkan membatasi kebebasan akademik. Riset harus sejalan idiologi Pancasila dan mendukung kepentingan pemerintah.
Ketiga, BRIN ditakutkan menjadi partisan atau instrumen partai politik yang berkuasa. Sehingga produk riset akan terdegradasi menjadi argumen-argumen pseudosains untuk mendukung hegemoni partai politik tertentu. Kondisi semacam itu disebut sebagai bunuh diri di bidang riset.
Pertanyaannya, apakah ketiga alasan di atas dapat diterima sebagai argumen yang kuat, sehingga bisa menjadi dasar pembatalan keberadaan Dewan Pengarah BRIN?Â
***
Saya akan coba jawab pertanyaan di atas secara ringkas. Jawaban saya pada intinya menunjukkan tiga alasan itu tidak mencerminkan cara pikir logis.
1. Rasionalitas dan cara pikir logis bukan monopoli profesor doktor.Â