Konflik itu produktif. Cobalah dipikir. Seandainya arus listrik  positif tak berkonflik dengan arus negatif, niscaya malam-malam kita selalu gulita. Peralatan berbasis listrik kita mogok semua. Kompasiana juga mati.
Lihatlah. Konflik antara kutub berlawanan listrik menghasilkan energi. Entah itu cahaya ataupun  tenaga. Semua itu penyokong esensial untuk kehidupan. Menyadari hal itu, masihkah kamu anti-konflik?Â
Begitu bebalkah kamu untuk bisa menerima fakta? Ingatlah, bahkan denting indah piano tak akan pernah ada bila jemari tak memukul tuts, dan tuts tak memukul senar. Ya, musik adalah harmoni yang diproduksi konflik.
Jika konflik tak produktif, maka tak akan sudi orang berkonflik. Bukankah manusia dasarnya serakah? Cari untung, bukan buntung.Â
Itu bisa menjelaskan konflik dalam organisasi sosial. Misalnya, partai politik semacam PDI, ormas semacam HKTI, dan klub sepakbola semacam Persebaya.
Konflik organisasi itu lazim menghasilkan entitas baru dengan predikat "perjuangan" atau "tandingan". Entitas lama yang pro-status quo dan entitas baru yang sarat ketakpuasan kemudian bersaing menjadi yang terbaik. Â
Hukumnya, Survival of the Fittest. Begitulah, di partai politik misalnya, PDI Perjuangan tampil menjadi yang tetbaik.
Intro panjang dan melelahkan, karena kelewat serius, Â di atas tentu ada maksudnya. Bukan Engkong Felix namanya kalau tak berargumen untuk menggolkan kepentingan politiknya di Kompasiana. Apakah kamu tak seperti itu?
Situlluk mata ni horbo (Batak), mencucuk mata kerbau, terus terang to the point seperti tokoh wayang Antasena, ini tentang Kompasianival 2021.  Ada ketakpuasan yang menggelegak di Gang Sapi. Terkait kategori K-Award yang dinilai diskriminatif. Tidak mencerminkan kemanusiaan yang adil dan keadilan sosial.
Tegasnya, "Mengapa K-Award bias voice? Mengapa noise ditekan dan disingkirkan? Kita harus melawan!" Itu teriakan Engkong Felix, preman jompo RT Gang Sapi, tetangga RT Luna Maya.Â