Guru adalah teladan terbaik kedua bagi anak kecil, setelah bapak-ibunya. Â Atau, Â untuk kasus Poltak, setelah kakek-neneknya. Sebab dia sejak bayi tinggal bersama kakek-neneknya.
Bagi murid-murid lelaki kelas lima SD Hutabolon, teladan itu siapa lagi kalu bukan Guru Harbangan. Â Murid-murid itu kagum dan sangat menikmati keahlian Guru Harbangan merokok. Â Keren gayanya, sedap ekspresinya.
Terutama kalau sedang mengisap rokok kretek bikinan Surabaya, Pulau Jawa. Â Di depan kelas, Guru Harbangan akan menyedot asap rokoknya dalam-dalam, sampai memenuhi ruang paru-parunya, sambil matanya memicing. Â
Lalu sambil membulatkan bibir mirip mulut botol, Â gumpalan-gumpalan asap berbentuk kue donat ditiupkan satu per satu dari mulutnya. Â Donat-donat asap itu berkejaran ke udara, meruapjan aroma harum rempah.
Kalau sudah begitu, mulut murid-murid lelaki akan mangap terkagum-kagum. Â Tentu Polmer yang paling ekspresif. Â Sampai lupa menarik sepasang ingus hijaunya kembali ke sarang. Â
"Aku ingin merokok seperti gaya Guru Harbangan," kata Poltak kepada teman-temannya, suatu waktu saat keluar main, di sela-sela keriuhan main gundu.Â
"Aku juga." Â "Aku pun!" Â "Aku juga mau." "Sama, aku pun." Â "Aku ikut." Binsar, Bistok, Polmer, Alogo, dan Jonder bergantian menyahuti.Â
Teman-teman sekelas Poltak yang lainnya manggut-manggut. Â Ingin juga bisa seperti Guru Harbangan.
Merokok bagi Poltak, Binsar, Bistok  dan teman-temannya bukanlah sesuatu yang tabu. Sebab bagi  orang Batak di Panatapan dan sekitarnya, juga Hutabolon dan sekitarnya, merokok adalah tanda kelelakian.
Tiga sekawan Poltak, Binsar, dan Bistok sendiri sudah terbiasa merokok kawung kosong. Â Itu lazim dilakukan saat maranggap, melek-melekan warga kampung di rumah keluarga yang baru dikaruniai kelahiran anak.Â