"Karena akal budi adalah kebaikan Tuhan untuk setiap manusia, maka gunakan dia semata untuk kebaikan sesama manusia." -Felix Tani
Indonesia kini diberitakan sebagai episentrum baru Covid-19 di Asia, bahkan di dunia, melampaui rekor India. Â Data pandemi Covid-19 terbaru, baik di situs covid19.go.id, Johns Hopkins University, Our World in Data, dan worldmeter.info, telah mengkonfirmasi hal itu. Tak perlu lagi dibantah.
Kita, warga negara Indonesia, sepantasnya khawatir dengan kondisi ledakan pandemi Covid-19. Â Itu manusiawi. Tapi satu hal, jangan sampai hilang "kesadaran akan krisis" (sense of crisis) dan, yang lebih penting lagi, jangan sampai hilang "akal sehat."
Akal sehat akan menuntun jalan kita, sebagai sebuah bangsa, sehingga pasti mampu keluar selamat dari krisis ini.  Untuk itu kita perlu cermati lebih dahulu angka daya tular dan penularan  Covid-19. Berdasar itu kita bisa mendapatkan pemahaman tentang apa yang telah terjadi sesungguhnya. Lalu memikirkan solusi operatif untuk mengatasi pandemi ini.
Covid-19 Varian Delta Jauh Lebih Ganas Dibanding Alpha
Varian Covid-19 terbaru,  Delta, ternyata 7.5 kali lebih ganas dibanding varian sebelumnya, Alpha. Dalam 30 hari setelah terpapar, bila tak menerapkan prokes ketat, seorang pengidap varian Delta secara eksponensial dapat menulari  117.649 orang. Sedangkan pengidap varian Alpha dapat  menulari "hanya" 15.625 orang.
Sekarang kita cermati perbandingan angka tambahan kasus terpapar Covid-19 antara 3 Februari 2021 dan 14 Juli 2021. Â Titik waktu 3 Februari 2021 adalah titik tambahan kasus tertinggi semasa serangan varian Alpha tahun ini yaitu 11,984 kasus. Â Sedangkan titik waktu 14 Juli 2021 adalah titik tambahan kasus tertinggi (mudah-mudahan) setelah serangan varian Delta yaitu 54,517 kasus. Ternyata jumlah kasus 14 Juli 2021 Â terhitung 4.5 kali lipat dibanding jumlah kasus 3 Februari 2021. [2]
Mudah-mudahan tingkat keganasan 7.5 lipat itu hanya teori dan mudah-mudahan kejadian empiris di Indonesia berhenti pada kelipatan 4.5 atau paling tinggi 5.0. Â Mudah-mudahan pula, setelah mencapai angka maksimal tambahan 60,000 kasus per hari (mudah-mudahan tak terjadi), kurva kejadian Covid-19 di Indonesia dengan cepat bisa turun lagi. Kalau bisa, terjun bebas.
Mungkinkah? Â Sangat mungkin. Â Syaratnya, seperti saya singgung di atas, Â mari kita gunakan akal sehat dalam perang melawan pandemi Covid-19.
Hasil Kerja Versi Revolusioner Teori Efek Kupu-Kupu
Begini. Â Dalam artikel terdahulu, saya telah merujuk teori "efek kupu-kupu" (butterfly effect) dari Edward N. Lorenz (1963) untuk menjelaskan ledakan pandemi Covid-19 varian Delta di Indonesia. (Lihat: "Covid-19 Kini Tinggal Selangkah Darimu", kompasiana.com, 10/07/2021.)
Ledakan pandemi itu adalah hasil kerja versi revolusioner dari prinsip efek kupu-kupu, bukan versi evolusioner sebagaimana aslinya. Dalam versi evolusioner, secara metaforik dikatakan kepak sayap seeokor kupu-kupu di tengah hutan Amazon Brazil, satu peristiwa sangat kecil dan sangat sepele, lewat sebuah proses interkonektif yang panjang dan lama, pada akhirnya menimbulkan topan dahsyat di pantai Florida Amerika Serikat.Â
Dalam versi revolusioner, dalam konteks pandemi Covid-19 Delta di Indonesia, satu "kepak sayap seekor kupu-kupu", yaitu sebuah kelengahan teramat kecil dan (terlihat) teramat sepele, mungkin hanya 0.0001 jika dikuantifikasi, di pintu masuk negeri, Â telah menyebabkan varian Delta Covid-19 dari India masuk ke Indonesia.Â