Terkait hal ketiga itu, harus dipastikan bahwa vaksin yang dikomersilkan oleh Kimia Farma bukan diambil dari stok vaksin gratis. Tapi vaksin yang diimpor sendiri atau diproduksi sendiri oleh BUMN itu untuk keperluan bisnis murni. Sepenuhnya menggunakan modal kerja Kimia Farma sendiri.Â
Jadi, harus ada pembedaan tegas. Â Vaksin gratis adalah program nasional pemerintah, vaksin berbayar adalah program bisnis Kimia Farma sebagai entitas bisnis. DPR harus memanggil Direksi Kimia Farma untuk memastikan itu.
Ada yang bilang, di masa pandemi ini, BUMN mestinya jangan cari untung dengan berbisnis vaksin. Itu pandangan aneh. Â Baguslah jika ada BUMN yang bisa tetap menjalankan bisnis di masa pandemi. Â Jadi kegiatan ekonomi bergulir. Â
Bahwa kemudian bisnisnya berkenaan dengan vaksin, itu kan rasional secara bisnis. Â Ada permintaan vaksin berbayar, masa peluang bisnis semacam itu dilepas begitu saja. Secara prinsip, gak beda dengan bisnis masker dan cairan pembersih tangan, bukan? Pandemi, ya pandemi. Â Bisnis rasional harus tetap jalan.
Jika harga vaksin komersil Kimia Farma dinilai tinggi, maka bisa ditempuh mekanisme dua harga: harga subsidi (untuk kelompok sosial tertentu) dan harga pasar (umum). Untuk kontrol harga, baik jika ada perusahaan pesaingnya.
Jadi, tidak ada yang salah dengan bisnis vaksin berbayar Kimia Farma kecuali satu hal, yaitu alasan untuk mempercepat pencapaian target vaksinasi nasional. Â Mungkin ada benarnya kalau bicara soal kontribusi Kimia Farma pada keberhasilan vaksinasi. Â Tapi jelas itu bukan sebuah alasan yang masuk akal bagi publik.
Jika pemerintah ingin mempercepat pencapatan target vaksinasi 70 persen penduduk, untuk mendapatkan imunitas massal (herd immunity), caranya bukan dengan menyuruh Kimia Farma jualan vaksin. Â Tapi dengan cara memperluas jaringan pelaksana vaksinasi di seluruh Indonesia.
Tentang hal terakhir ini, Menkes Budi Gunawan Sadikin pernah bilang untuk mendayagunakan modal sosial nasional. Lakukan saja itu dengan lebih intensif dan ekstensif. Â Kegiatan vaksinasi jangan hanya mengandalkan jaringan Puskesmas, BUMN, dan Kepolisian.Â
Gunakan juga potensi kelembagaan sosial lainnya yang terpercaya. Â Mengapa misalnya tak mendayagunakan potensi organisasi-organisasi agama semacam pesantren, mesjid, gereja, kelenteng, dan pura. Â Baru-baru ini sebuah paroki gereja Katolik di Jakarta misalnya melaksanakan vaksinasi umum gratis bekerjasama dengan Puskesmas. Â Model semacam itu bisa diperluas pelaksanaannya.Â
Tentu dengan syarat organisasi agama yang diajak kerjasama sudah menerapkan prinsip-prinsip tatakelola organisasi yang baik (good governance). Â Lebih baik lagi jika organisasi itu punya klinik kesehatan atau jaringan dengan nakes.
Persoalannya kemudian, dan ini yang harus dijawab pemerintah, apakah stok vaksin mencukupi untuk kebutuhan nasional? Â Sebab ada pertanyaan kritis: Â apakah lambatnya pencapaian target vaksinasi akibat keterbatasan jaringan pelaksana, resistensi warga masyarakat, atau keterbatasan stok dosis vaksin nasional?