"Ratu Juliana itu Ratu Negara Belanda. Â Pangeran Bernhard itu suaminya."
"Apakah Belanda mau menjajah kita lagi, Gurunami?
"Tidak, Poltak!" Â Suara Guru Marihot mulai meninggi.
"Mengapa kita harus menyambut kedatangan ratu Belanda penjajah itu, Gurunami.?"
"Bah! Â Pandai pula kau bertanya. Â Sekarang kita tak dijajah lagi. Â Kita sudah merdeka. Â Indonesia dan Belanda sudah berdamai. Sekarang sudah bersahabat. Â Paham kau, Poltak!"
"Mana pahamlah aku," tukas Poltak dalam hati. Â Meski tidak puas pada penjelasan Guru Marihot, Poltak memilih untuk mengangguk lalu diam. Â Sebab nada suara Guru Marihot sudah semakin meninggi.
Akan halnya Guru Marihot, dia sangat heran mengapa ada anak yang gemar bertanya kritis seperti Poltak. Â "Barangkali anak ini sarapan nasi dan telur rebus tiap pagi. Â Bukan sarapan singkong rebus dan ikan asin bakar," pikirnya. Â
Murid-murid SD Hutabolon berangkat ke Girsang, Parapat naik motor prah. Â Motor prah itu, milik seorang pengusaha kilang beras di Girsang, disewa kepala sekolah untuk sekali jalan. Â Sebanyak enampuluh lima orang anak berdiri berjejal di dalam baknya.Â
Setelah pintu bak di bagian belakang motor prah dikancingkan, dari luar hanya terlihat bendera-bendera kertas merah-putih dan merah-putih-biru berkibaran. Itu bendera-bendera penyambutan Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard.
Murid-murid SD Hutabolon diangkut seperti sekawanan kambing ke pasar hewan. Â Sementara dua orang guru pengawal, Guru Marihot dan Guru Manaor dari kelas lima, Â duduk tenang di kabin supir, murid-murid terpontal-pontal di dalam bak mengikuti arak tikungan yang tak kunjung habis sepanjang jalan ke Girsang.Â
Tapi kondisi itu ternyata menjadi sumber sorak-sorai dan gelak-tawa bagi mereka. Â sarena itu Sulit untuk tidak mengatakan perjalanan itu sebagai perjalanan sarat suka-ria.