Bagi murid-murid SD Hutabolon, tahun-tahun berlari tanpa terasa. Tiba-tiba saja sudah Hari Natal. Â Lalu seminggu kemudian Tahun Baru. Itu artinya naik kelas. Â Atau tinggal kelas, jika tidak pintar.
Begitulah. Â Hari itu Senin, 4 Januari 1971. Poltak dan kawan-kawannya, semuanya 18 anak, sudah duduk di kelas baru, kelas empat. Guru Marihot sudah melepas mereka tahun lalu dari kelas tiga.
"Pak Guru bangga pada kalian. Â Semua naik ke kelas empat. Â Tahun depan, kalian akan duduk di ruang kelas empat. Tempatnya di gedung sekolah kita di bawah sana. Â Tidak lagi di gereja ini." Â Suara Guru Marihot bergetar. Â Murid-murid diam, memendam rasa haru, juga terimakasih.
"Tetaplah rajin belajar. Jangan menjadi keledai." Guru Marihot menatap Poltak lalu Jonder. Â
"Satu lagi pesan Pak Guru. Â Hormati selalu gurumu," pungkasnya. Lalu Guru Marihot menoyor kepala setiap murid sebagai salam perpisahan.
Guru Paruhum, dialah guru kelas empat. Â Usia tigapuluh tiga tahun. Perawakan tinggi besar, tubuh atletis, cocok dengan tugasnya sebagai guru pembina olahraga. Â Rambutnya ikal, kulit sawo matang. Kalau bicara, suaranya menggelegar, tapi rajin senyum.
"Pak Guru absen dulu kalian," katanya dengan suara menggelegar. Â Murid kelas empat telah duduk tertib di ruangan, selepas upacara bendera sekaligus penerimaan murid kelas satu di halaman sekolah.
"Nama yang bapak panggil, angkat telunjuk, ya. Â Adian, Alogo, Berta, Binsar, Bistok, Dinar. Gomgom, Jojor, Jonder, Marolop, Nalom. Â Poibe, Â Polmer, Poltak, Risma, Saur, Togu, Tiur. Â Semua delapanbelas orang. Â Hadir semua, ya." Â
Guru Paruhum menyapukan pandangannya ke wajah seluruh murid, sambil tersenyum.
"Di kelas tiga kalian sudah mendapat pelajaran baru. Â Ilmu Bumi, Sejarah, dan Bahasa Batak. Â Di kelas empat kalian mendapat pelajaran baru lagi. Ilmu Hayat dan Civic." Â Murid-murid khidmat mendengarkan.
"Tapi hari ini kita belum belajar. Â Kita mulai besok. Â Sekarang kita bermain kasti dulu."Â
Wajah para murid langsung sumringah. Â Jiwa-jiwa dalam tubuh-tubuh kecil itu langsung bersemangat. Â Itu untuk pertama kalinya mereka bermain kasti dibimbing guru.
Bermain kasti. Â Itu cara Guru Paruhum membangun keakraban antara para murid. Sekaligus untuk membangun semangat kompetisi yang sehat.
Murid-murid dibagi menjadi dua regu. Regu Poltak dan Regu Jonder. Â Di Regu Poltak ada Binsar, Bistok, Alogo, Berta, Gomgom, Tiur, Jojor, dan Polmer. Di Regu Jonder ada Adian, Togu, Dinar, Nalom, Poibe, Marolop, Risma, dan Saur.
Kedua regu itu keluar dari ruang kelas dan berjalan menuju lapangan rumput di depan gedung sekolah. Â Luas lapangan rumput itu lebih kurang selapangan sepak bola.
"Habislah kalian, Poltak." Jonder menebar ancaman sebelum permainan dimulai.
"Jonder! Kalian yang habis nanti!" Â Polmer sudah langsung membalas, sebelum Poltak sempat melontarkan sepatah katapun.
Jonder terdiam.  Kembut juga hatinya berhadapan dengan Polmer.  Sudah disaksikannya dulu  bagaimana Polmer mengunci Bistok, lawannya bergulat,  hingga tak berkutik.  Â
Permainan dimulai. Â Berdasar hasil suit, Regu Poltak tampil sebagai pemukul dan Regu Jonder sebagai penjaga dan pelempar bola. Jonder menunjuk Togu sebagai pelempar bola. Guru Paruhum sendiri menjadi wasit.
Binsar tampil sebagai pemukul pertama. Malapetaka bagi Regu Jonder. Â Binsar berhasil memukul jauh bola, sehingga dia bisa melewati Pos 1, 2, 3 dan masuk kembali ke hong dalam sekali putaran lari. Â Nilai dua.
Selanjutnya giliran Alogo, Gomgom, Tiur, dan Polmer. Â Semua aman. Â Walau masing-masing hanya mencatatkan nilai satu. Â Karena larinya bertahap dari pos ke pos.
"Habislah kau, Jonder!" teriak Poltak, disambut sorakan merendahkan dari Regu Poltak.
Regu Jonder betul-betul terpuruk. Â Hanya berhasil sekali menangkap bola pukulan Gomgom. Nilai satu. Regu Poltak sudah enam. Jonder tampak geram. Sorot matanya mendendam.
Giliran Berta memukul bola. Inilah saat yang ditunggu-tunggu Jonder. Ini kesempatannya melampiaskan rasa sakit akibat terpuruk.
Jonder berjaga seperti macan lapar. Matanya tajam mengincar gerak-gerik Berta. Â Berta, ibarat anak rusa yang manis, tak menyadari bahaya yang mengintai. Tapi Poltak menyadari situasi genting itu.
Terjadilah petaka. Pukulan Berta tak sempurna. Bola menyusur tanah dengan kecepatan sedang. Jonder, macan lapar itu, dengan cepat menerkam bola. Lalu langsung memburu Berta yang sedang berlari ke Pos 1.
Jonder adalah macan sedangkan Berta anak rusa. Dalam sekejap, Jonder sudah berhasil menghadang Berta sebelum tiba di Pos 1.Â
Jonder mengambil ancang-ancang. Dia akan membantai Berta dengan satu lemparan bola terkeras ke arah dada. Berta berjongkok minta ampun, dengan wajah ketakutan.
"Jonder! Jangan!" Poltak berteriak keras. Tapi terlambat. Bola kasti dengan kecepatan tinggi telah menghunjam dada Berta. Berta jatuh telungkup, menangis, menahan rasa sakit tak terperi di dadanya. Â
"Jonder! Beraninya sama perempuan kau!" Poltak berteriak penuh amarah sambil berlari ke arah Jonder. Secepat kilat dia melompat dan mendaratkan satu tendangan tepat ke wajah Jonder.
Tak ampun lagi, Jonder terpelanting, jatuh terjajar di atas tanah lapang. Â Gigi serinya goyah, hidungnya mengucurkan darah segar.
Masih naik pitam, Poltak mencecar Jonder lalu mengayunkan satu sepakan ke arah perutnya. Tapi, sebelum sepakan Poltak mendarat di sasaran, tubuhnya mendadak terangkat ke udara.Â
"Poltak! Cukup!" bentak Guru Paruhum sambil mengangkat Poltak sehingga kepala mereka sejajar. Sorot matanya dingin, Â memadamkan nyala api di mata Poltak.Â
 "Kau, Poibe, urus dulu Berta! Lainnya, teruskan main kasti!"
"Kau, Poltak! Kau, Jonder! Ikut Pak Guru ke ruangan!"
Guru Paruhum mencekal keras tengkuk Poltak di tangan kiri dan tengkuk  Jonder di tangan kanan. Dicencangnya kedua anak itu ke dalam ruangan kelas empat, seperti menenteng dua ekor bodat bandel di kedua belah tangan. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H