Torang marah-marah kepada Tiur, istrinya.  Pasalnya, keuangan keluarga morat-marit.  Lantaran, menurut Torang, istrinya gemar  membelanjakan uang untuk hal-hal yang tak perlu.
"Tiur, kau itu bagai nakhoda kasap hujung hilang pangkal lesap!" Â teriak Torang. Menurutnya, istrinya itu terlalu banyak membeli barang-barang yang tak guna.
"Apa katamu?  Enak saja kau marah-marah. Jangan dahulu duduk dari cangkang.  Masalahnya bukan itu.  Masalahnya  besar pasak daripada tiang!  Paham kau!"Â
Menurut Tiur suaminya tak paham perkara tapi langsung marah-marah. Lalu disindir telaklah Torang, suaminya, sebagai lelaki yang penghasilannya kecil. Â Sehingga keuangan keluarga selalu defisit.
"Asal kau tahu saja, Torang!  Ekonomi keluarga kita bagaikan kain tak bertepi!"  Tiur menyerang habis suaminya.  Menurutnya, mereka kini sudah terperangkap dalam kemiskinan yang amat sangat.
"Bah! Dasar kau saja yang lupa nasihat orangtua. Tak mau hemat pangkal kaya!"
"Bah, sembarang bicara pula kau.  Jilat bibir dulu baru bicara!  Sudah besar pasak daripada tiang!  Tukang kredit menagih cicilan ibarat mencabut bulu kodok!  Aku lelah berketiak ular sampai berputih mata. Apa yang mau dihemat?  Celana panjangmu hendak dipendekkan?"Â
Torang terdiam. Â Tak guna lagi mendebat istrinya. Â Semua kata-katanya benar dan menusuk hati. Â Lebih penting memikirkan solusi keuangan keluarga yang morat-marit.Â
"Si Monang anak kita minta uang untuk biaya kuliah semesteran. Â Kau pikirlah itu. Â Cari uang di mana!" Tiur mencecar Torang.
Torang tambah pusing tujuh keliling. Â Sebenarnya ada solusi tokcer: Â Renteiner. Â Tapi, berdasar pengalaman Torang, berurusan dengan renteiner itu ibarat mati semut karena manisan. Â
Awalnya mulut renteiner manis benar, tapi  saat menagih cicilan dan bunga, omongannya pahit sekali.  Televisi, radio-tiprikorder, dan kereta (sepeda motor) tuanya telah pindah tangan kepada renteiner,.  Lantaran dia takmampu melunasi cicilan pinjaman dengan bunga berbunga.
"Kau jangan main catur di lapo teruslah. Kerjalah kau itu. Â Jadi orang harus ringan tulang berat perut. Hempas tulang berisi perut. Begitu. !" Tiur mengingatkan suaminya. Â Kalau rajin usaha, pastilah rejeki akan mengalir deras. Intinya, kerja banting tulang.
Dari dulu, saat masih pacaran, Tiur sebenarnya sudah tahu Torang itu pemalas. Â Tapi, ya, begitulah, seperti kata pepatah, racun diminum haram tak mabuk. Â Kalau sudah dimabuk cinta maka semuanya tampak indah. Â
Akibatnya, sekarang, ekonomi keluarganya ibarat alu patah lesung hilang.  Satu masalah terselesaikan, datang lagi masalah baru. Harusnya dulu pikir dahulu pendapatan, sebab sesal kemudian tiada berguna. Â
"Pokoknya," kata Tiur kepada Torang, "mulai sekarang, esa hilang dua terbilang!" Harus kerja keras, teguh hati, sampai kesejahteraan ekonomi keluarga tercapai.
"Baiklah, istriku," kata Torang dengan sorot mata bersemangat, "Aku mau kerja keras. Â Prinsipku, habis kapak berganti beliung." Â Torang berjanji bekerja keras tanpa lelah mencari nafkah untuk keluarganya. (efte)
*Alangkah puitisnya bila pertengkaran suami-istri menggunakan peribahasa.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H