Hakikat pekarangan memang usaha tani menetap. Pertanamannya permanen, tetap dari tahun ke tahun. Tidak seperti sawah yang panennya musiman, panen di pekarangan berlangsung sepanjang tahun. Tanam sekali, panen berkali-kali.Â
Model permakultur atau pekarangan alami yang saya praktikkan merujuk pada metode "bertani tanpa-bertani" (do nothing farming) ala Masanobu Fukuoka, Bapak Pertanian Natural Jepang, penemu prinsip-prinsip pertanian natural.[3]
Ketiga, jangan menggunakan pupuk buatan dan organik karena hal itu merusak struktur tanah dan susunan hara. Keempat, jangan menggunakan pestisida dan herbisida karena hal itu akan mencemarkan tanah, air, dan meracuni tanaman.Â
Dengan mengikuti empat prinsip itu, pertanian alami menyehatkan kembali tanah. Tanaman juga menjadi sehat, hasilnya pun sehat dan bergizi.
Sebuah riset di Jepang menunjukkan bahwa kadar antioksidan apel dari pertanian alami lebih tinggi dibanding apel dari pertanian modern. Rasanya juga lebih enak karena kandungan gula, asam amino, dan asam organiknya tinggi sedangkan nitrogen nitrat rendah.[4]
Saya akan berikan contoh cara menyulap taman menjadi pekarangan alami atau permakultur rumah kota. Karena ukuran lahan sempit, saya hanya menanam sejenis tanaman keras. Tadinya mangga golek, sekarang diganti jambu air. Mangga golek ditebang karena tajuknya mengacaukan jaringan kabel komunikasi.
Saya menanam berbagai tanaman bumbu dan sayuran di pekarangan itu. Ada jahe, laos, kunyit, kencur, kunci, pandan, sereh, kemangi, dan jeruk purut. Lalu ada singkong sayur, ubi jalar, dan talas. Semua ditanam tanpa aturan, bergerumbul natural, di bidang sempit pekarangan, di antara bidang tanaman hias.
Bibit tanaman itu sebagian besar adalah sisa belanjaan bumbu dan sayur dari pasar. Jahe, laos, kunci, kencur, sereh, dan kunyit tadinya adalah bumbu dapur yang sudah tumbuh tunas.Â