"Bagus. Â Lima jenis bunga di tiap sudut, ya. Â Atur sendiri jarak tanam. Ambil cangkul di belakang rumah."
Guru Marihot tak perlu banyak cakap lagi. Â Murid-muridnya sudah tahu apa yang harus dilakukan. Murid-murid lelaki sibuk menancapkan bilah pagar bambu mengelilingi pekarangan. Â Murid-murid perempuan sibuk menanam bunga di pojokannya. Â
"Kalau balok ini dipukulkan ke kepala Polmer, bagaimana, ya." Â Poltak menggodai Polmer sambil memukulkan balok ke ujung bilah bambu agar tertancap ke tanah.
"Kurasa baloknya akan patah," sambar Alogo, disambut gelak-tawa anak-anak yang lain.
"Kasihan baloknya, kalau begitu, ya," sambut Polmer.  Gelak-tawa semakin menjadi.  Roh Kudus rupanya sedang turun atas Polmer. Mendadak dia bisa bercanda. Tak ada  benda kental hijau di lubang hidungnya.
"Kenapa jarak bilah pagar sepuluh sentimeter, Gurunami," tanya Bistok.
"Supaya babi tak bisa keluar-masuk pekarangan."
"Tapi anak babi, kan bisa lolos, Gurunami." Â Berta menimbrung tanya.
"Anak babi ikut ibunya, Berta. Â Macam kau," sambar Poltak meledek. Â "Amangoi! Sakit itu!" Â Gagang cangkul di tangan Berta menyodok keras pantat Poltak. Â Murid-murid lain tertawa riuh. Â
Hampir dua jam murid-murid kelas tiga praktek berhitung di pekarangan rumah Guru Marihot. Hasilnya adalah sebuah taman bunga di depan rumah. Luar biasa hasil praktek berhitung.
"Ei, anak-anak, minum dulu." Â Bu Marihot, istri Guru Marihot turun ke pekarangan sambil menatang talam berisi cangkir-cangkir berisi minuman berwarna kuning merangsang. Â "Ini sirup markisa Medan. Â Secangkir seorang, ya. Â Tak perlu rebutan."