Tapi tak ada ampun. Â Semua murid SD Hutabolon harus dapat suntikan kotipa dan cacar. Â Murid-murid yang menangis meraung-raung itu tak terkecuali. Â Guru Barita selalu siap memegangi mereka dengan erat, agar tak meronta saat disuntik. Â Hal itu mengingatkan Poltak pada tindakan neneknya saat mengebiri babi jantan.
Masalah timbul saat tiba giliran Polmer. Â Samson Hutabolon ini ternyata sangat takut pada pisau cacar dan jarum suntik kotipa itu. Â Dari sepuluh orang murid yang menangis, raungan Polmerlah yang paling besar volumenya.
"Alamat gawat ini," pikir Poltak.  Pandangan matanya melekat pada kedua lubang hidung Polmer.  Dua garis cairan kental kehijauan sudah tampak keluar masuk.  Pertanda Polmer sudah stres. Itu masalah besar.  Karena tenaga "samson"  Polmer akan muncul  jika dia stress.
Benar saja. Saat Pak Mantri siap menggoreskan pisau cacarnya, Polmer menjerit dan meronta, lalu lepas dengan mudahnya dari pegangan Guru Barita. Â Tanpa bisa dicegah, Polmer melarikan diri ke bukit di belakang gereja.
"Bah! Kumat Si Polmer itu!"  Guru Barita merutuk.  "Poltak! Cari  itu Si Polmer! Bawa ke sini!"  Perintah Guru Barita pantang dibantah.  "Kenapa pula aku lagi," keluh Poltak dalam hati, sambil berlari menyusul Polmer ke atas bukit.  Di tak tahu, Guru Barita paham betul, Poltak adalah pawang yang bisa menjinakkan Polmer.
"Polmer!  Keluar kau! Awas, ada babi.  Nanti digigitnya pula  pantatmu macam Si Jonder!" Poltak berteriak di atas bukit.
"Babi! Jangan kau takuti aku, Poltak!" Â Polmer melompat dari balik perdu simarhuting-huting, berlari ketakutan ke arah Poltak.
"Kalau kau tak mau disuntik, Polmer, mukamu nanti berlubang-lubang macam jalan ke kampung Portibi. Â Muntah-muntah dan berak-berak pula kau. Â Bah! Matilah kau, nanti. Â Ngeri kali!" Poltak mengulangi kata-kata Guru Barita. Â
"Bisa begitu, Poltak?"
"Guru Barita tak mungkin bohong, Polmer. Â Dia guru kita."
"Tapi aku takut kalilah melihat pisau dan jarum suntik itu."