Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis Itu Puncak Kerja Penelitian

15 April 2021   21:43 Diperbarui: 16 April 2021   16:11 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Publish or perish! Saya teringat kredo peneliti itu saat rekan Wuri Handoko, dalam artikel "Keuntungan Berlipatganda Menulis Sebagai Kerja Sampingan Peneliti" (K. 15/04/2021) mengatakan menulis adalah kerja sampingan bagi peneliti. 

Rekan Wuri, pada beberapa paragraf, sebenarnya bilang keja menulis itu melekat pada kerja penelitian. Tapi akhirnya dia tetap pada simpulan "menulis itu kerja sampingan" peneliti.

Saya pikir artikel rekan Wuri bermaksud mendorong para peneliti, terutama peneliti muda, untuk menjalani kerja penulisan sebagai bagian integral dari penelitian. Bila demikian halnya, kurang tepat mengatakan menulis itu kerja sampingan.

Mari mendiskusikan soal ini sedikit lebih jauh. Dengan maksud mendapatkan kesamaan pemahaman tentang posisi kegiatan menulis dalam kerja penelitian.

***

Jika merujuk pada kredo publish or perish, publikasi atau lenyap, maka penulisan -- dalam arti publikasi -- adalah puncak kerja penelitian. 

Tanpa publikasi, seorang peneliti tak punya dasar eksistensi di kancah riset. Dia tak akan dikenal, bahkan tak diakui, oleh sejawat sebagai peneliti. Dengan demikian, dia lenyap (perish).

Dalam dunia riset, reputasi dan pengaruh seorang peneliti diukur dari kuantitas dan kualitas publikasinya. Semakin banyak jumlah, semakin tinggi kualitas, dan semakin mendunia  publikasinya, semakin tinggi pula reputasi dan pengaruhnya.  

Ukuran reputasi dan pengaruh yang lazim digunakan adalah indeks-h. Indeks-h adalah jumlah publikasi ilmiah yang jumlah pengutipannya lebih tinggi atau sama dengan h. Indeks ini menginformasikan produktivitas dan pengaruh seorang peneliti berdasar publikasi ilmiahnya.

Semakin tinggi indeks-h seorang peneliti, artinya publikasinya dikutip banyak peneliti lain secara luas, berarti semakin tinggi reputasi dan pengaruhnya. Artinya, semakin  menonjol dan diakui eksistensinya sebagai peneliti. 

Secara tipologis, bisa dibedakan tiga kelas reputasi dan pengaruh peneliti itu. Tingkat lokal (daerah), nasional (negara), regional (antar-negara, misalnya ASEAN), dan internasional (kelas dunia).

Jelas bahwa publikasi adalah ukuran utama eksistensi, tepatnya reputasi dan pengaruh,  bagi seorang peneliti. Itu berarti penulusan atau publikasi bukan sesuatu yang bersifat sampingan. Justru publikasi adalah puncak kerja penelitian, inti dari kerja penelitian itu sendiri.

***

Anggapan menulis atau publikasi merupakan kerja sampingan mungkin berangkat dari pandangan bahwa akhir proses penelitian adalah laporan. Itu pandangan keliru. 

Proses penelitian sejatinya sebuah kontinum yang terdiri dari empat tahapan. Proposal, pengumpulan dan analisis data, penulisan laporan, dan publikasi ilmiah.  Jadi, jika sebuah penelitian berhenti pada tahap laporan, maka pekerjaan sebenarnya baru terpenuhi 75 persen.

Harus diakui, publikasi ilmiah memang  tahap terberat dalam penelitian. Untuk bisa terbit dalam satu jurnal ilmiah, nasional ataupun internasional, sebuah artikel harus melewati meja juri dan editor. Jika diterima, maka harus bayar biaya publikasi pula. 

Tapi sekali artikelnya berhasil terbit di jurnal internasional misalnya, nama peneliti itu akan dikenal dunia. Tawaran kerjasama riset sangat mungkin mendatanginya.

Nilai publikasi jurnal ilmiah itu tinggi. Bisa mengantar peneliti pada jenjang ahli peneliti utama atau profesor riset. 

Saya pernah menjadi editor untuk  satu jurnal sosionomi pertanian yang terakreditasi Dirdikti Depdikbud. Nilai kum artikel yang terbit di situ besar.  Saya beberapa kali ditawari calon profesor biaya pencetakan, asalkan artikelnya bisa lolos meja redaksi. 

Tingkat kesulitan publikasi ilmiah itu mungkin menjadi alasan bagi sebagian peneliti menempuh jalan plagiasi. Di negeri ini, tanpa menyebut nama, ada kasus-kasus gelar profesor dicabut karena terbukti  publikasi ilmiahnya hasil plagiasi.

Tapi tentu saja ada kegiatan menulis yang  tergolong sampingan bagi peneliti. Itulah penulisan artikel ilmiah populer di media massa. 

Selain mendapatkan honorarium, artikel semacam itu diperhitungkan pula sebagai kum pengabdian pada masyarakat. Juga bisa mengantar penulisnya menjadi narasumber koran, majalah, dan televisi.

Sampai di sini, saya pikir cukup jelas, penulisan atau publikasi ilmiah merupakan puncak kerja penelitian. Bagi seorang peneliti, menulis artikel ilmiah adalah basis reputasi dan pengaruh ilmiah. Menulis, dengan demikian, adalah inti kegiatan penelitian. 

Tanpa publikasi,  tak akan ada komunikasi sains, sehingga penelitian dan peneliti tak akan berkembang, atau bahkan mati. Publish or perish. Peneliti jangan pernah lupa kredo itu.(efte)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun