Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Jangan Adu Bacot di Kompasiana

13 April 2021   16:55 Diperbarui: 13 April 2021   17:17 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahu erti bacot, kan?  Itu aslinya bahasa Inggris, singkatan dari Bad Attitude Control of Tongue. Itu label untuk orang yang punya mulut tipe ember, tapi tak punya telinga.  Bawaannya ngegas nyolot melulu. 

Keberatan dengan erti bacot versi saya?  Boleh protes, tapi jangan adubacot.  Bakupikir saja.

Ada tiga alasan mengapa dilarang adubacot di Kompasiana.  Pertama, adubacot itu tempatnya di televisi.  Bukan di Kompasiana.  Di Kompas TV, misalnya, bolehlah.  

Kedua, Kompasiana tempat mengagihkan tulisan, bukan tempat koar-koar.  Namanya tulisan, ya, bahasanya bahasa tulis.  Kalau adubacot, kan, pakai bahasa non-tulis, lisan dan fisik.  Membentak itu lisan.  Menyiramkan teh ke wajah lawan adubacot itu fisik.

Ketiga, Admin K melarang adubacot.  Sebab adubacot inilai merusak komunikasi antarkompasianer.  Jadi, kalau ada artikel "adubacot", pasti langsung masuk Karantina Kompasiana.  Di situ artikel akan mengalami eradikasi, sampai tinggal judul saja.  Ya, gak bisa tayang, dong. 

Keempat, Kompasianer itu orang-orang yang tinggal serumah di "Rumah Kita Bersama".  Jadi sesama Kompasianer tidak baik adubacot.  Baiknya adu besar-besaran K-Rewards.

Lha, tadi bilangnya cuma tiga alasan.  Kenapa jadi empat.  Begini.  Ada beberapa Kompasianer yang punya tabiat aneh.  Gemar menambah-nambah panjang senarai.  Jadi, sebelum ditambah pembaca, ya, saya tambah sendiri dulu.

Kenapa tiba-tiba saya menulis soal adubacot ini?  Itu pertanyaan takmutu.  Tapi, baiklah, saya jawab.  Tiba-tiba saja kepikir soal adubacot para politisi dan aktivis di televisi.  Kompasianer, saya pikir, gak usah latah ikut-ikutanlah.  Maka kutulis artikel ini.

Pertanyaan bermutu, mengapa Felix Tani kini gemar menulis artikel ringan bahkan picisan.  Nah, saya jawab, ya.  Itu bukan gemar, tapi pilihan sikap.  Kalau mau menulis artikel serius, saya akan menulis di jurnal ilmiah, bukan di Kompasiana.

Kompasiana itu bukan habitat artikel serius.  Coba baca artikel-artikel di ruang Artikel Utama, semuanya artikel ringan.  Bagaimana tak picisan, kalau ada artikel tentang kiat-kiat kerja kantoran, sementara sebagian warga bangsa ini kerja di rumah atau bahkan menganggur. 

Saya membaca Kompasiana itu untuk menawar lelah pikir.  Jadi saya pilih membaca artikel-artikel ringan saja, semisal artikel picisan Daeng Khrisna Pabichara, Daeng Rudy Gunawan, Pak Tjip, Bu Lina, Guido "Juragan Cengkeh", Mas Susy, Prov. Al Pepeb,  Romo Bob, dan Mas Tedra. Itu untuk menyebut beberapa nama saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun