Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Makna Air Mata Jokowi untuk Nusa Tenggara Timur

11 April 2021   17:18 Diperbarui: 11 April 2021   22:43 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bapak Presiden mungkin tidak tega lihat kondisi kami yang sangat memprihatikan. Beliau mungkin juga tidak tega melihat rakyatnya menderita seperti ini, sampai beliau menangis." [1]

-Pius Pedang Melai, Kepala Desa Nele Lamadike, Adonara NTT

Untuk pertama kalinya, dalam tujuh tahun sejak terpilih menjadi Presiden RI tahun 2014, Joko Widodo menitikkan air mata di depan rakyatnya. Itu terjadi pada hari Sabtu, 9 April 2021, di Desa Nele Lamadike, Adonara, Flores Timur (Flotim) NTT.

Pada hari itu, Presiden Jokowi mengunjungi korban banjir bandang di tempat pengungsian di Nele Lamadike, desa terdampak paling parah, dengan jumlah korban tewas sejauh ini 57 jiwa.[2] Saat turun dari mobil kepresidenan, Jokowi tak kuasa menahan titik air matanya. Melihat presidennya menangis, para pengungsi juga tak kuasa menahan air mata.

Para politisi oposan dengan ringan mulut mungkin akan menuding Jokowi sedang meneteskan air mata pencitraan.  Tak guna membantahnya. Tapi sekurangnya bisa dikatakan masih lebih baik Jokowi yang menangis bersama rakyatnya, ketimbang politisi oposan  yang mungkin menyinyir di ruang berpendingin di Jakarta.  

Sejatinya, makna air mata Jokowi itu bisa ditafsir pada dua aras.  Pada aras mikro, di tingkat interaksi Presiden Jokowi dengan warga Nele Lamadike, korban bencana banjir bandang. Lalu pada aras makro, yaitu pada konteks pembangunan nasional dengan fokus daerah miskin di belahan timur Indonesia.

Saya akan ulas satu per satu secara singkat.

***

Pada tingkat mikro, Jokowi memang sunguh berduka untuk rakyat Desa Nele Lamadike khususnya. Barangkali, memang ada tipe pemimpin yang tak punya hati, yang masih bisa tertawa melihat warganya kehilangan sanak saudara, rumah, sumber nafkah, dan harta-benda dalam semalam. Jokowi bukan tipe itu. Dia pemimpin yang punya hati. 

Ungkapan Pius, Kades Nele Lamadike, di awal tulisan ini menggambarkan kondisi psikologis Jokowi secara tepat. Air mata Jokowi jatuh menetes saat menyaksikan derita warga Nele Lamadike. Warga desa itu merasa dimanusiakan oleh pemimpin yang mereka cintai.  Lalu mereka juga meneteskan air mata haru bahagia.

"Orang yang kami kagumi, tiba-tiba ada di hadapan kami. Pak Presiden menangis saat turun dari mobil .... Sangat bahagia sampai kami menangis histeris. Presiden yang sangat merakyat, yang selama ini kami hanya lihat di televisi, hari ini, menyalami kami di posko pengungsian." [1]

Ungkapan Yuliana Ina Sedon, salah seorang pengungsi, itu datang dari kedalaman hati warga Nele Lamadike. Itu sudah cukup untuk  menjelaskan bahwa air mata presiden dan warga korban bencana di Adonara datang dari lubuk hati terdalam. Bukan air mata yuyu, kepiting, pencitraan.

Tangis Jokowi di Flotim harus dilihat serangkai dengan tindakannya melepas jaket dan memakaikannya ke tubuh Fransiskus, seorang pemuda korban bencana,  di Desa Tapolangun, Lembata.[3] Itu adalah bahasa simbolik. Dengan itu, Jokowi sedang mengatakan, "Saya akan memberikan apa yang ada pada diriku untuk memulihkan kondisi sosial dan fisik di wilayah bencana ini."

Jokowi memang tidak datang melenggang dengan tangan kosong ke Flotim dan Lembata NTT. Dia datang tidak hanya untuk melihat, tapi untuk bekerja bagi rakyat korban bencana. 

Karena itu, selain membawa langsung bantuan untuk korban, Jokowi juga membawa serta Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Menteri Basukilah yang akan memimpin program pemulihan daerah bencana di NTT.

Apakah Jokowi sedang mengistimewakan NTT, dengan tangisnya di Flotim?  Tidak. Bencana banjir bandang Flotim dan Lembata hanyalah garis ambang ketahanan emosional Jokowi. Atas segala bencana berlapis yang menimpa bangsa ini. 

Di atas bencana pandemi Covid-19 yang seolah tak berujung, bencana alam datang silih-berganti di berbagai penjuru negeri.  Sementara pemerintah dan rakyat berjibaku mengatasi bencana, segelintir politisi dan massa oposan sibuk mencela, menghina, dan menyalahkan pemerintah, hanya demi kepentingannya sendiri.  

Di Flotim, di tengah warga korban bencana, Jokowi menitikkan air mata. Itu air mata keteguhan hati, untuk memberikan apapun yang ada pada dirinya, untuk kemaslahatan rakyat. Bukan hanya  rakyat Nele Lamadike dan Tapolangun, atau Flotim dan Lembata, tapi seluruh rakyat Indonesia.

***

Pada tingkat makro, air mata Jokowi di Adonara merupakan luapan kesedihan atas kondisi kemiskinan yang masih melanda sebagian masyarakat Indonesia. Kondisi yang diperparah oleh kemerosotan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Angkanya diperkirakan  naik lagi dari satu digit (9%) ke dua digit (11-12%). [4]

Secara makro, NTT adalah representasi kelompok provinsi miskin di Indonesia. Merujuk data 2019, dengan jumlah penduduk miskin 20.62%, NTT Termasuk urutan ketiga termiskin di Indonesia setelah Papua (26.55%) dan Papua Barat (21.51%). Angka itu jauh di atas rata-rata nasional (9.22%). 

Sudah delapan orang gubernur memimpin provinsi berusia 62 tahun ini (terbentuk 20 Desember 1958), sejak A.J. Lalamentik sampai Viktor Laiskodat.  Sudah tujuh orang  presiden memimpin Indonesia, sejak Soekarno sampai Jokowi.  Tapi tak satupun dari para pemimpin itu berhasil mengangkat NTT melewati garis kemiskinan nasional. 

Jadi, sudah sepantasnya bila seorang presiden menangisi  nasib NTT, yang tak kunjung berhasil keluar dari lumpur kemiskinan sepanjang sejarah Indonesia Merdeka.

Kemiskinan rakyat NTT, untuk sebagian, adalah buah dari kebijakan pembangunan ekonomi yang salah jalur.  Masyarakat desa NTT terkenal sebagai petani pangan lahan kering (jagung dan padi gogo), peternak (sapi, kuda), pekebun (kopi, cengkeh, kemiri, mete), dan juga nelayan (paus) yang hebat. Itulah ekologi budaya asli NTT. 

Tapi pemerintah kemudian memaksa masyarakat untuk menjadi petani padi sawah. Itu implikasi monolitik pembangunan pertanian yang bias ekoligi budaya Jawa. Akibatnya, agroekologi asli setempat, yaitu pertanian lahan kering dan peternakan rakyat, mengalami kemunduran.  

Paradigma pembangunan pertanian yang berpusat pada padi sawah itu masih diteruskan Jokowi. Ditandai dengan peresmian kebun pangan (padi) di Sumba dan peresmian bendungan irigasi di Sikka, Flores. Pertanyaan kritisnya, seberapa luas sawah irigasi teknis yang bisa dibangun di NTT?

Ketika pembangunan pertanian bias padi sawah tak berhasil mengangkat ekonomi pedesaan NTT, pemerintah kemudian melirik sektor non-pertanian, khususnya industri pariwisata. Tapi ekonomi pariwisata tumbuh di luar ekologi budaya masyarakat NTT. Sektor itu dikuasai investor dari luar, semisal pada wisata Komodo dan wisata Sumba. Warga lokal hanya menikmati rejeki kecil di pinggiran kue wisata.

Suatu gejala ekonomi dualistik kini malah teramati di NTT.  Ada industri pariwisata yang kapitalistik di satu bidang dan pertanian rakyat yang pra-kapitalistik, atau paduan subsisten dan semi-komersil, di bidang lainnya. Tidak ada interaksi saling-dukung antara keduanya. Pariwisata semakin maju, pertanian tetap terbelakang. Itu sebabnya kemiskinan betah di NTT.

Pemerintah NTT, juga Presiden RI, mungkin perlu mempertimbangkan pendekatan ekologi budaya dalam pembangunan pertanian dan pariwisata di NTT. Tak terpaku pada pendekatan ekonomi nasional. 

Dalam pendekatan ekologi budaya, rakyat NTT menjadi pemangku utama.  Rakyat menjadi pelaku utama dalam ekologi budaya pertanian-pariwisata. Sebagai pengusaha ataupun pekerja, yang mengikat kerjasama dengan investor dari luar.

Warga NTT, bagaimanapun juga, harus menjadi "tuan" bagi  kemajuan ekonomi di daerahnya. Pendekatan ekologi budaya memungkinkan itu.  Jika tidak demikian, sulit membayangkan NTT keluar dari lumpur kemiskinan.  

Perlu berapa gubernur dan presiden  lagi untuk bisa mengentaskan rakyat NTT dari kemiskinan? Perlu berapa banyak lagi air mata presiden dan rakyat harus tumpah, agar NTT mau mengubah nasibnya? (efte) 

Rujukan:

[1] "Video Detik-detik Jokowi Menangis Lihat Lokasi Bencana Alam di Adonara NTT, Begini Kesaksian Warga," tribunnews.com, 10 April 2021.

[2] "Update Banjir Bandang Adonara Flores Timur, 69 Jenazah Korban Dievakuasi," liputan6.com, 6 April 2021.

[3] "Dapat Jaket dari Jokowi, Fransiskus: Tidak Akan Dicuci," kompas.com, 10 April 2021.

[4] "Dampak Covid-19: 2,7 juta orang masuk kategori miskin selama pandemi, pemulihan ekonomi 'butuh waktu lama'", bbc.com, 17 Februari 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun