"Ketika semester kemarin ikut merasakan menjadi pengajar kuliah secara daring, untuk tugas tengah/akhir semester, mereka saya tugasi menulis di Kompasiana. Entah apakah ada yang memakai jasa joki. Tapi memang, beberapa terindikasi main copy paste." -Hadi Santoso, Kompasianer
Rekan-rekan Kompasianer generasi "tua", Â masih ingat akun Pakde Kartono yang misterius bin legendaris di Kompasiana? Tulisan terakhir di akun itu per 24 Mei 2017. Setelah itu vakum, menyusul keriuhan dugaan Pakde Kartono sebenarnya adalah napi koruptor muda GT.Â
Lalu, ada dugaan artikel-artikel di akun itu tak ditulis langsung oleh Pakde Kartono sendiri. Tapi oleh seseorang yang dibayar,  semacam "penulis bayangan" (ghost writer) untuk bikin  konten  di Kompasiana. Tepatnya, seorang joki Kompasiana.
Pikiran tentang joki Kompasiana itu terbersit di benak saat membaca komentar rekan Hadi Santoso di atas. Itu adalah petikan komentarnya untuk artikel saya, "Joki Kuliah, Profesi Sesat yang Mendungukan Mahasiswa" (K. 8/4/2021).
Dugaan adanya joki Kompasiana mungkin terdengar kocak. Tapi itu laknat, kalau benar ada. Artinya Kompasiana telah dimasuki oleh para perusak integritas (joki) dan orang-orang berintegritas rendah (Kompasianer pengguna jasa joki).
Joki Kompasiana sangat mungkin eksis seiring dengan penggunaan blog ini sebagai wahana pendukung  proses belajar-mengajar.  Paling umum, guru atau dosen menugasi siswa/mahasiswa menulis artikel (essai), lalu menayangkannya di Kompasiana.
Status artikel itu di Kompasiana mungkin jadi dasar penilaian. Â Artikel Utama mungkin A, lalu Artikel Pilihan dinilai B, dan artikel tanpa label nilainya C. Barangkali jumlah pembaca (viewers) juga dipertimbangkan. Artikel tanpa label dengan jumlah pembaca 0-25 misalnya diganjar nilai D.Â
Mentalitas terabas, istilah Prof. Koentjaraningrat, sangat mungkin bekerja pada diri para siswa/mahasiswa. Di internet banyak penawaran pengerjaan tugas sekolah/kuliah. Upahnya tak mahal-mahal amat, mulai dari Rp 10,000 per tulisan. Tinggal pesan tulisan seperti "yang diminta guru/dosen," lalu tayangkan di Kompasiana. Gampang, kan?
Yen tak pikir-pikir, aneh kalilah bangsa kita ini. Pelacuran daring diharamkan, tapi perjokian daring diumbar di ruang publik. Memangnya pelacur dan joki itu beda, ya?
Apakah dugaan keberadaan joki Kompasiana itu halusinasi? Tidak juga. Seperti telah saya sampaikan dalam artikel "Joki Kuliah", pemanfaatan joki kuliah oleh para mahasiswa kini sudah jamak untuk pengerjaan tugas paper/makalah secara daring. Jadi dugaan keberadaan joki Kompasiana, dalam rangka sekolah/kuliah, adalah kesimpulan logis.