Perhatikan frasa "penghasilan ilegal". Â Itu menunjuk pada jenis pendapatan terlarang. Artinya, pendapatan yang diperoleh dengan cara melanggar hukum. Misalnya mencopet, mencuri, merampok, menipu, dan lain sebagainya. Â
Salah satu cara mendapatkan penghasilan sampingan yang  kerap -- secara salah kaprah -- disebut sebagai budaya adalah korupsi.  Korupsi lazimnya melekat sebagai peluang penghasilan ilegal pada pekerjaan utama, khususnya pekerjaan pelayanan publik dan pekerjaan bisnis.Â
Pada kasus pekerjaan sebagai guru SD, misalnya, korupsi bisa saja terjadi dalam praktek pemberian nilai ujian. Â Agar anaknya mendapat nilai ujian baik, orangtua murid menyogok guru dengan uang, makanan, barang, dan lain sebagainya. Â Juga, bisa terjadi, seorang guru meenjamin seorang calon siswa bisa masuk sekolah favorit dengan imbalan uang pada jumlah tertentu.
Jelas korupsi bukanlah pekerjaan sampingan. Â Itu perilaku ilegal memanfaatkan jabatan publik untuk mendapatkan penghasilan sampingan secara ilegal. Jelasnya tindakan seseorang memperkaya diri pribadi dengan memanfaatkan jabatan publik yang dipegangnya.Â
Semua gaji yang diperoleh dari pekerjaan utama pasti legal. Â Begitupun penghasilan dari pekerjaan sampingan yang dilakukan secara jujur.
Tapi tidak semua penghasilan sampingan itu legal. Ada jenis penghasilan sampingan yang ilegal, yaitu pendapatan dari korupsi dengan beragam variannya. Lazim disebut "sabetan", dalam ujaran "Gajinya memang kecil tapi sabetannya, cuy, jangan ditanya."
Penghasilan sampingan dari korupsi bisa diperoleh tanpa bekerja. Â Hanya karena punya jabatan, seseorang bisa saja tiba-tiba ketiban uang komisi yang tak jelas asal-usulnya. Â Mungkin itu sebabnya banyak orang yang mati-matian mengejar jabatan tinggi. Â Tak segan-segan untuk menyogok atasan, mahluk gaib, dan mungkin juga Tuhan. Â Anda berminat? Saya, tidak! (efte)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H