Dua puluh  are sawahku kurelakan menjadi aspal  tol. Sebab kupercaya kata-kata penguasa: "Jalan tol mendekatkan sawah ke pasar. Pupuk menjadi murah, gabah menjadi mahal."  Tapi harus kuterima kenyataan: Sawah mendadak mahal, pupuk tetap mahal, gabah tetap murah. Aku tak percaya lagi tuah jalan tol. Â
Dua puluh are sawahku tersisa.  Kuterima diriku menjadi petani gurem. Bertani untuk  makan semusim. Maka kusuruh putra pertamaku menjadi tukang martabak, tanpa  harap dia menjadi walikota. Kusuruh putra keduaku menjadi tukang pisang goreng, tanpa harap dia menjadi manajer sepakbola. Aku tak percaya lagi tuah sebidang sawah.
Dua pikul gabah upah panen  kuperoleh dari tuan tanah. Hendak kujual kepada tengkulak dengan harapan harga bagus. Tapi para tengkulak mengabarkan penguasa siap mengimpor sejuta ton beras dari negeri tetangga.  Maka harga gabah hasil keringat semusim terjun bebas di pasaran. Aku tak percaya lagi tuah janji kedaulatan pangan.(efte)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H