Ini bukan artikel kritik terhadap Admin K(ompasiana). Tapi artikel minta tolong. Tolong lebih terbuka. Â Jadi, Admin K tolong jangan baper. Â Ini bukan kritik.Â
Secara khusus, artikel ini menanggapi agihan Admin K kemarin, "Bersama Kita Jaga Kompasiana Menjadi Rumah yang Sehat" (K.11.03.21). Â Bukan membantah. Tapi menanggapi. Â Perhatikan bedanya. Ini tanggapan supportif. Â Kan, tak mungkin ada bantahan supportif. Ngawur itu.
Setuju kita harus jaga dan bangun bersama K menjadi rumah yang sehat. Tentu maksudnys  sehat secara sosial, dalam arti K bersih dari polusi sosial. Bersih dari penistaan -- dalam arti luas -- suku, agama, ras, dan antargolongan tertentu.  Dalam antargolongan itu termasuk gender, usia, status sosial, kelompok sosial, organisasi sosial, dan lain-lain.  Juga tak boleh ada penistaan individu. Sepakat.
Senang membaca bahwa Admin K telah berhasil menyaring dan menghapus sejumlah artikel kategori "penistaan" sepanjang tahun 2020. Artinya sistem kurasi atau moderasi K berjalan dengan benar.
Berjalan dengan benar? Â Nah, itu asumsi saya. Bagaimana "benar" itu dalam kenyataan, saya tak pernah tahu. Kompasianer umumnya juga mungkin tak pernah tahu. Sebab sistem saringan artikel di K menggunakan indikator kata kunci. Itu hanya diketahui Admin K.
Indikator kata kunci itu adalah basis kekuasaan Admin K untuk meloloskan, mengucilkan (copot label), mengarantina, atau menghapus suatu artikel. Itu menjadi momok untuk Kompasianer yang terbiasa menulis artikel kritis dan keras. Â
Kemarin saya diberitahu seorang rekan Kompasianer bahwa artikelnya masuk karantina Admin K. Katanya ada kata-kata atau frasa yang diindikasikan sistem K sebagai polusi sosial, sehingga artikel otomatis diturunkan dan masuk karantina. Â
Selanjutnya, katanya, artikel akan diselidiki dulu. Apakah betul-betul melanggar ketentuan tentang "penistaan" atau tidak. Jika tidak, maka boleh tayang lagi. Â Aih, janji manis.
Saya berbaik sangka. Â Intensi Admin K, saya kira, melindungi Kompasianer dari kemungkinan somasi atau diperkarakan pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan oleh artikel itu. Â Itu di satu sisi.Â
Di sisi lain, Admin K juga harus menjaga agak K jangan menjadi ajang penistaan pihak-pihak tertentu. Sebab kalau sampai hal itu terjadi, K bukan lagi rumah yang sehat.
Tapi begini, Admin K yang selalu sungsang-sumbel. Kalau Admin K ingin kami, para Kompasianer, bersama menjaga K sebagai rumah yang sehat, maka tolonglah lebih demokratis. Â
Beritahu kepada kami kata-kata kunci yang menjadikan suatu artikel masuk karantina atau dihapus, karena dinilai menista pihak lain. Â Jika kami diberitahu kata-kata kunci itu, maka kami bisa terhindar dari penulisan dan penayangan artikel penistaan di Kompasiana.
Di dalam sutu rumah yang sehat secara sosial, katakanlah rumahtangga, harus jelas apa yang boleh dan tidak boleh. Â Itu harus menjadi kesepakatan bersama. Â Bukan sepihak, misalnya dari orangtua. Jika sudah menjadi kesepakatan, maka pelanggaran bisa diganjar sanksi yang juga sudah disepakati.Â
Di rumah Kompasiana, jika kata-kata terlarang itu hanya diketahui Admin K, maka itu namanya ketidakadilan dan anti-demokrasi. Â Itu sama saja Admin K menyiapkan jebakan betmen untuk Kompasianer. Lalu, bila ada Kompasianer yang kerap melanggar, langsung dimasukkan ke dalam program pengawasan. Â Aih, ngeri kalilah Admin K ini.
Sekali lagi, ini adalah permohonan, bukan kritik. Mohon Admin K lebih terbuka, lebih demokratis, sehingga kami Kompasianer tidak selalu kebat-kebit menulis artikel kritik yang bernada keras di Kompasiana. Â
Atau sekurangnya saya tidak selalu khawatir setiap kali menulis artikel kritik tentang sikap beragama tokoh-tokoh politik atau tokoh masyarakat. Â Padahal itu kritik terhadap sikap beragama, lho, bukan kritik terhadap agama. Â Saya khawatir sistem K tak bisa membedakannya.
Terhadap permohonan ini, mudah-mudahan Admin K tidak bersikap arogan dengan bilang, "Ini aturan Kompasiana, kalau gak suka, gak usah nulis di mari." Â Lha, kalau ngomongnya begitu, ngapain bilang "Kompasiana rumah kita bersama."? Â (*)
Catatan: Â Baru saja saya dikabari rekan Kompasianer ada artikel yang lolos tayang di Kompasiana, tentang larangan miras, yang mengutip ayat-ayat Perjanjian Lama di luar konteks. Â Apakah sistem K gagal berempati pada orang yang berpegang pada Perjanjian Lama sebagai Kitab Suci-nya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H