Jelas ujaran "cinta produk dalam negeri" dan "benci produk luar negeri" (baca: impor) dari presiden harus dikenakan pada produk yang sama dan atau substitusi (termasuk substitusi impor). Dalam satu kalimat dungu: "kalau ada kesemek domestik, kenapa harus beli kesemek impor." Sesimpel itu.
Mengatakan ujaran presiden ngaco, karena kita masih impor pesawat terbang buataan AS, Â henpon buatan Korea, dan kurma Arab misalnya, jelas keluar dari konteks. Kita tak mungkin membenci produk impor semacam itu. Karena kita butuh dan belum ada produk sibstitusi yang setara di dalam negeri.
Tapi jika satu produk, katakanlah batik cetak dan jilbab tadi, diproduksi di dalam negeri, lalu ada produk sejenis dengan "harga predator" dari Cina, maka produk impor ini harus dibenci. Â Karena dia masuk ke negara kita dengan cara curang. Lalu membunuh UMKM penghasil produk sejenis. Lagi, menimbulkan pengangguran.Â
Produk semacam itu memang harus dibenci karena merusak kedaulatan ekonomi kita dengan harga murah. Sederhananya, jika selembar jilbab buatan Cina harganya Rp 2.000, maka kita yang membeli produk itu telah menjual kedaulatan ekonomi kita seharga Rp 2,000. Sekaligus menghianati UMKM yang tumpur dan para pekerja yang di-PHK. Â
Dengan menempatkan ujaran presiden dalam konteksnya, maka tidak akan ada tanggapan yang ngawur atau berlebihan terhadapnya. Dengan begitu kita bisa memberi respon yang lebih konstruktif. Bukannya membingkainya menjadi "sesat pikir presiden", lalu mengoarkannya ke ruang publik demi kepentingan politis.
Kita bisa saja mencintai produk dalam negeri dan membenci produk luar negeri (impor), sejauh itu bicara tentang produk yang sama atau substitutif, tapi dengan sejumlah prakondisi.
Pertama, pada tataran mentalitas, pastikan dulu pembalikan preferensi konsumen, dari produk impor ke produk domestik. Ini harus terjadi terutama pada kelas menengah yaitu keluarga pejabat, pengusaha, dan pesohor.Â
Sulit berharap cinta produk domestik apabila kelas menengah kita doyan pamer produk impor, semisal tas, sepatu, kolor dan beha impor berharga puluhan bahkan ratusan juta, di ruang publik. Â Revolusi mental -- yang dulu digaungkan Presiden Jokowi -- itu kunci.
Ujaran "benci produk asing" dari presiden akan jatuh menjadi lelucon akbar tahun ini, jika pejabat dan istrinya masih tampil di ruang publik dengan gayutan pakaian, alas kaki, dan asesori branded impor.
Kedua, pastikan mutu produk domestik sama atau lebih bagus dibanding  produk impor. Baik mutu bahan, disain, maupun pengerjaan.  Sehingga tidak ada alasan beli produk asing karena lebih mutu.Â
Itu terutama tugas Kementerian Perindustrian secara sinergis dengan Kementerian Koperasi dan UMKM. Jangan hanya gedung promosi UMKM (SMESCO) di Jakarta saja yang megah, tapi isinya takmutu.