"Kemarin saya sampaikan untuk cinta produk Indonesia. Untuk bangga terhadap produk Indonesia. Boleh saja kita ngomong tidak suka pada produk asing. Masa kita ga boleh ga suka? Saya ngomong benci produk asing, gitu aja ramai." [1]
Itu ujaran Presiden Jokowi  dalam Pembukaan Rakernas  XVII HIPMI Tahun 2021 di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat minggu lalu ( 5/3/2021). Ujaran itu menegaskan pernyataannya sehari sebelumnya (4/3/2021) di depan peserta Rapat Kerja Kementerian Perdagangan.
"Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri, produk-produk Indonesia harus terus digaungkan. Gaungkan juga benci produk-produk dari luar negeri. Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk dari luar negeri." [2]
Ujaran Presiden Jokowi itu langsung bagai bensin isu disambar api kontroversi. Â Polemik langsung merebak di ruang publik, media massa dan media sosial. Â Oposisi langsung menyalahkan "isi kepala presiden." Â Sementara unsur rezim penguasa -- dan DPR juga -- membela "pikiran presiden."
Saya tak hendak masuk pada kontroversi itu dengan membela satu kubu dan menekan kubu lain. Â Saya hanya mau fokus pada pertanyaan "mengapa harus benci produk asing." Â
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya harus meletakkan ujaran presiden pada konteksnya. Mencabut ujaran itu dari konteksnya, menyebabkan perbincangan menjadi liar lari ke mana-mana. Seperti yang dipertontonkan para politisi dan pengamat di ruang publik.
Konteks ujaran itu  adalah produk UMKM dalam negeri yang dinomorduakan konsumen domestik karena kegilaan selera pada produk asing (luar negeri).  Dengan asumsi bahwa produk UMKM lebih bermutu atau sama mutu dan harganya juga bersaing atau terjangkau, maka jajaran Kementerian Perdagangan harus merumuskan strategi dan program menjadikan "produk dalam negeri di depan." Itu saja.
Di latar belakang ujaran itu ada kasus harga predator. Â Satu perusahaan dari Cina misalnya telah mengekspor jilbab ke Indonesia dengan harga sangat murah, sehingga UMKM jilbab di Indonesia berhenti beroperasi. Dampaknya, terjadi pengangguran dan perlambatan ekonomi.
Ujaran presiden itu jelas dilandasi kemarahan dan pembelaan kepada sektor UMKM yang dimatikan oleh preferensi warga Indonesia pada produk asing.
Sekaligus ujaran itu teguran keras kepada Kementerian Perdagangan. "Elo bisa kerja gak sih? Masa elo biarin UMKM binaan elo mati dibunuh produk asing?" Â Kira-kira begitu tegurannya dalam ragam bahasa preman.