Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kemiskinan Logika di Balik Pembangkangan Wali Kota Pariaman

18 Februari 2021   11:45 Diperbarui: 18 Februari 2021   15:09 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, sebagai sebuah konsesus nasional, akan berantakan jika sepuluh persen saja dari 514 orang bupati/walikota di Indonesia (data Januari 2020) memanggungkan kemiskinan logika seperti Genius Umar, Walikota Pariaman. 

Ramai di media massa dan media sosial, Walikota Pariaman itu diberitakan  menolak pemberlakuan SKB 3 Menteri (Mendikbud-Mendagri-Menag) Nomor 02/KB/2021, 025-199/2021 dan 219/2021  tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.[1]

Terkait peran pemda, SKB 3 Menteri itu mengatur bahwa, pertama, pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama dan, kedua, pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

Penolakan  Walikota Pariaman untuk menjalankan  SKB itu di daerahnya bisa dikategorikan  pembangkangan terhadap  pemerintah pusat.  Sebab SKB itu produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah pusat untuk   diberlakukan secara nasional.  Kota Pariaman tidak menjadi perkecualian di situ.

Suatu tindak  pembangkangan sebenarnya dapat saja dimaklumi bila berdasar alasan logis, masuk akal.  Sayangnya, pembangkangan Walikota Pariaman tidak termasuk dalam kategori itu. Tiga alasan dikemukakan yaitu Pariaman mayoritas Islam, SKB tak menghargai kearifan lokal, dan SKB bertentangan dengan tujuan pendidikan.  Alasan-alasan itu mencerminkan kemiskinan logika.

Saya akan jelaskan perkara kemiskinan logika pada tiga alasan  satu per satu.  Di ujung nanti saya akan tunjukkan adanya gejala kebablasan dalam menafsir dan mengartikulasikan otonomi daerah.

Fakta Mayoritas Tak Menegasikan Peraturan Nasional

"Pariaman masyarakatnya homogen, yaitu mayoritas Islam, tapi tidak ada pemaksaan siswi non-muslim memakai jilbab di sini."[1]  Itu salah satu alasan Walikota Pariaman untuk tetap bemberlakukan kewajiban mengenakan jilbab bagi siswi muslim di sekolah (negeri) di daerahnya.

Kemiskinan logika ada pada frasa "mayoritas Islam" (homogen) dan "tidak ada pemaksaan siswi non-muslim memakai jilbab."  Begini. Alasan "mayoritas Islam" itu miskin logika karena menggunakan dalil mayoritas untuk membenarkan pembangkangannya.  Jika dalil itu diterima, maka SKB 3 Menteri harus ditolak di seluruh Indonesia, karena Indonesia itu "mayoritas Islam."

Lalu, jika benar "tidak ada pemaksaan siswi non-muslim memakai jilbab" di kota Pariaman, maka mestinya tidak ada alasan untuk menolak SKB 3 Menteri, karena peraturan itu tidak bertentangan dengan fakta di sana.  Mestinya, Walikota Pariaman menyambut baik SKB karena menjadi payung hukum untuk kebijakanannya (jika benar begitu kenyataannya).

Oh, tapi untuk siswi beragama Islam tetap diberlakukan aturan wajib jilbab.  Nah, aturan ini juga miskin logika, karena tidak konsisten dengan alasan berikutnya yaitu dalil kearifan lokal.

Kearifan Lokal Tidak Memerlukan Peraturan Pemerintah

"Daerah memiliki kearifan lokal sendiri." [1]  Dengan dalih itu Walikota Pariaman tidak sepakat pada pemerintah pusat yang menyamaratakan semua daerah di Indonesia dalam membuat peraturan.

Tidak jelas apa "kearifan lokal" kota Pariaman.  Tapi walikotanya menyebut soal "homogen, mayoritas Islam." Jika fakta "homogen, mayoritas Islam" dianggap sebagai kearifan lokal, maka fakta itu harus berlaku juga untuk mayoritas kabupaten/kota di Indonesia yang warganya "homogen, mayoritas Islam.".   Jika suatu ciri yang diklaim sebagai "kearifan lokal" dimiliki mayoritas daerah, maka itu bukan kearifan lokal lagi namanya, tetapi ciri nasional.  

Sekadar menyamakan persepsi, kearifan lokal (local genius, local knowledge, local wisdom) itu adalah energi sosial-budaya kreatif asli -- berupa nilai budaya, norma sosial, dan pranata sosial -- yang tumbuh dari dalam masyarakat, terinternalisasi sebagai pedoman hidup masyarakat, dan dilestarikan oleh masyarakat melalui proses pewarisan budaya antar generasi.  Ini definisi yang saya rumuskan berdasar ragam definisi yang ada.

Jika diasumsikan kearifan lokal "homogen, mayoritas Islam" itu implisit menunjuk pada "perempuan Islam wajib berjilbab" maka jelas tidak diperlukan suatu peraturan pemerintah daerah untuk memaksakannya.  Ingat, setiap peraturan bersifat memaksa.  Sebab jika "perempuan Islam wajib berjilbab" adalah kearifan lokal di kota Pariaman, sudah pasti setiap perempuan Islam di sana berjilbab.  Lalu, untuk apa harus bikin peraturan wajib jilbab.

Saya tak hendak mempertanyakan apakah norma "perempuan Islam wajib berjilbab" itu benar kearifan lokal.  Mempertanyakan soal itu bisa memicu perdebatan tanpa muara.  

Tapi jika ingin tahu seperti apa itu kearifan lokal, silahkan baca tentang hukum sasi di Maluku dan awig-awig di Bali dan Lombok.

Aturan "Tidak Mewajibkan dan Tidak Melarang Jilbab" Tak Bertentangan dengan Tujuan Pendidikan

Walikota Pariaman menganggap SKB 3 Menteri dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Menurut UU itu, katanya, tujuan pendidikan menciptakan peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu SKB tersebut harus ditolak.

"Saya siap berdiskusi. SKB 3 Menteri ini tidak cocok diterapkan, karena seolah-olah memisahkan antara kehidupan beragama dengan sekolah" [1] Itu argumen Walikota Pariaman.

Sebaiknya setiap bupati/walikota membaca UU 20/2003 dengan cermat.  Saya kutipkan Pasal 3 yang dinukil Walikota Pariaman: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." [2]

Walikota Pariaman membuat sendiri frasa "tujuan pendidikan menciptakan peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa." Itu artinya menukil frasa dari satu pasal UU untuk membenarkan pikiran dan tindakan atau kebijakannya.  

Bagian yang harus diutamakan dalam Pasal 3 itu adalah fungsi pendidikan yaitu "mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa." Penggal kedua pasal itu -- yaitu "berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab" -- adalah keluaran dari pelaksanaan fungsi pendidikan.

Jadi, kalau pemda mau bikin peraturan, karena pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah merupakan urusan pemda, maka harus dipastikan peraturan itu mendukung fungsi pendidikan.  Bukan peraturan untuk menjadikan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TYME.  Sebab tujuan itu sudah terintegrasi dalam implementasi fungsi pendidikan, antara lain dalam kurikulum dan kegiatan ekstra-kurikuler.

Jadi, tidak ada dasar untuk menyimpulkan SKB itu bertentangan dengan tujuan pendidikan.  Apalagi ditambah alasan memisahkan kehidupan beragama dengan sekolah.  Itu tak relevan sama sekali. Sudah jelas dalam Pasal 3 UU 20/2003, agama menjadi inspirasi untuk pendidikan, bukan aturan  (aspirasi) ntuk pendidikan (di sekolah negeri).

Bupati/Walikota Jangan Otonomi Kebablasan

"Saya tidak takut diberi sanksi, karena tidak melaksanakan SKB 3 Menteri itu.  Saya siap berdiskusi.  SKB 3 Menteri ini tidak cocok diterapkan ..." Pernyataan Walikota Pariaman ini tidak saja miskin logika.  Tapi juga menggelikan.  Bagaimana bisa seorang walikota minta berdiskusi dengan tiga menteri untuk membebaskan daerahnya dari pemberlakuan SKB.  Jika itu dituruti, maka mayoritas  bupati/walikota di Indonesia punya alasan serupa untuk berdiskusi.

Lagi pula, SKB itu tidak berdampak meminggirkan "kearifan lokal" yang menjadi penciri suatu daerah.  Ini sudah dijelaskan tadi.  Jadi apa yang harus didiskusikan.

Sebaiknya, setelah terpilih, setiap bupati/walikota langsung mempelajari UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada butir (b) konsideran ditegaskan: "bahwa  penyelenggaraan  pemerintahan  daerah  diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan  pelayanan,  pemberdayaan,  dan  peran serta  masyarakat,  serta  peningkatan  daya  saing  daerah dengan   memperhatikan   prinsip   demokrasi,   pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Perhatikan frasa terakhir "... dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia."  Itu sifatnya mengikat, tanpa pengecualian.  SKB 3 Menteri itu, sebagai produk peraturan perundang-undangan, dibuat dan diberlakukan  dalam "sistem NKRI", berlaku nasional.  Jadi, jika suatu daerah menolak arau membangkang untuk melaksanakan SKB itu, berarti daerah itu sedang memproklamikan statusnya "bukan bagian dari sistem NKRI."  Kalau Pariaman bukan bagian integral dari sistem NKRI, lalu apa statusnya.

Oh, Kota Pariaman itu daerah otonom.  Baiklah, silahkan baca  Pasal 1 ayat 2 UU 23/2014: "Pemerintahan   Daerah   adalah   penyelenggaraan   urusan pemerintahan    oleh    pemerintah    daerah    dan    dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan  dengan  prinsip otonomi  seluas-luasnya  dalam sistem  dan  prinsip  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia sebagaimana   dimaksud   dalam   Undang-Undang   Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."

Perhatikan frasa "prinsip otonomi  seluas-luasnya  dalam sistem  dan  prinsip  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia sebagaimana   dimaksud   dalam   Undang-Undang   Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."  Benar, Kota Pariaman itu daerah otonom.  Tapi jelas juga dia ada dalam sistem dan prinsip NKRI, sesuai UUD 1945.  

Menolak SKB yang konsisten dengan sistem dan prinsip NKRI jelas bukan praktek "otonomi seluas-luasnya." Itu namanya otonomi kebablasan, tafsir dan artikulasinya, keluar dari jalur UUD 1945.

Tapi, kan pemda berhak menetapkan kebijakan daerah untuk penyelenggaran urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya (Pasal 17 ayat 1 U23/2014).  Antara lain untuk urusan pendidikan dasar dan menengah.  Betul, tapi dengan syarat wajib  berpedoman  pada  norma, standar,  prosedur, dan  kriteria  yang  telah  ditetapkan  oleh pemerintah pusat (ayat 2).  Jika bertentangan, maka pemerintah pusat membatalkan kebijakan daerah itu (ayat 3).  Jelas, bukan? SKB 3 Menteri membatalkan semua peraturan daerah yang bertentangan dengannya.

Sebuah Kritik untuk Bupati dan Walikota

Sampai di sini, jelas kiranya predikat kemiskinan logika pada alas sikap, pikiran dan tindakan Walikota Pariaman membangkang pada SKB 3 Menteri. Dalil "mayoritas Islam", "kearifan lokal", "bertentangan tujuan pendidikan" seluruhnya adalah argumen yang sangat lemah bahkan cacat logikanya dalam kasus ini.  Dengan kata lain alasan yang miskin logika.

Tapi pembangkangan Walikota Pariaman hanyalah satu kasus aktual saja.  Tak sedikit bupati/walikota  yang pikirannya sama dan sebangun dengan itu, dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan otonom. Jika kasus pembangkangan Walikota Pariaman diangkat di sini, tak lain karena kasus itu memenuhi syarat untuk dianalisis dan dibagikan sebagai bahan pelajaran.

Artikel ini, dengan demikian, dimaksudkan sebagai kritik untuk semua pejabat pemerintah daerah, khususnya bupati dan walikota yang kerap kebablasan menafsir "otonomi daerah".  Apalagi jika berkenaan dengan fakta sosial agama dan suku, yang cenderung dikapitalisasi menjadi aset politik lokal. 

Satu hal yang perlu diingat, seorang bupati ataupun walikota duduk di kursinya dengan dukungan dua kuasa.  Pertama, legitimasi dari rakyat yang memilihnya, disebut sebagai kuasa konstituen.  Kedua, legalisasi dari pemerintah pusat, sebagai representasi kuasa undang-undang dan peraturan perundang-undangan nasional, disebut sebagai konstitusi.  

Logika bernegara menggariskan bahwa konstituen tunduk pada konstitusi.  Jika kebijakan bupati/walikota keluar dari prinsip itu, maka kebijakan itu telah melenceng dari logika bernegara.  Dengan kata lain bupati/walikota miskin logika.

Demikian Poltak Center menulis untuk Kompasiana.(*)

Rujukan:

[1] Fakta Wali Kota Pariaman Tolak SKB 3 Menteri, Beralasan Mayoritas Islam dan Tidak Takut Diberi Sanksi Kompas.com - 16/02/2021.

[2] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[3] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun