Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rakyat Indonesia, Jangan Takut Mengritik Penguasa

9 Februari 2021   16:27 Diperbarui: 10 Februari 2021   11:16 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika benar Kwik Kian Gie menjadi takut mengritik pemerintah karena jeri diodal-adil warganet pendengung (buzzers), maka ada baiknya dia tidak bermain di ranah medsos.  Fokus saja menyampaikan kritik kepada rezim lewat media konvensional. Bukankah, menurut pengakuannya, media konvensional semacam koran cetak lebih terbuka menyalurkan kritik kerasnya? [1]

Saya pikir Kwik, atau siapapun yang yang memosisikan diri sebagai pengritik, harus bisa menerima fakta dan konsekuensi pembelahan sosial warganet ke dalam dua kubu besar.  Kubu pro-penguasa (rezim) dengan banyak variannya, dan kubu pro-oposisi dengan banyak variannya.  Varian warganet yang paling galak dan ganas adalah pendengung, sering diplesetkan sebagai buzzerRp, di kedua kubu.  

BuzzerRp di kedua kubu?  Ya, mereka ada di kubu pro-penguasa dan kubu pro-oposisi, berhadapan secara diametral.  Bahkan tak mustahil ada juga buzzerRp yang berdiri di dua kubu sekaligus.  Ini bukan soal idiologi, tapi soal duit (Rp), baik yang diperoleh dari "majikan" (penguasa atau oposisi) maupun dari monetisasi akun medsos.

Maksud saya, kelompok sosial pendengung kini harus dipertimbangkan para pengritik sebagai salah satu stakeholder, entah itu terkait kritik kepada penguasa atapun kepada oposisi.  Sangat mungkin pula pendengung itu lebih galak dari majikannya: sikit-sikit lapor ke polisi.  Belum   tentu atas pesanan majikan.  Sangat mungkin atas inisiatif sendiri. Agar mendapat poin dari majikan,  atau sekurangnya bisa viral demi sohor.

Respon negatif terhadap kritik kini tak hanya datang dari pihak yang dikritik, tetapi juga dari pendukung atau pendengungnya di jalur medsos.  Hal itu berlaku dalam konteks kritik kepada baik penguasa maupun oposisi.  Tidak ada ampun dari pendengung!

Khusus terkait kritik kepada penguasa, kini berkembang satu pandangan sinikal.  Katanya, penguasa takut -- atau tipis kuping, allergi, dan sebagainya -- kepada kritik, sedikit-sedikit main lapor ke polisi.  Akibatnya, rakyat jadi takut mengritik penguasa, khawatir dipanggil atau dijemput paksa polisi.  Benarkah demikian? 

***

Agar ada kesamaan persepsi, saya mulai dari pengertian kritik.  Dalam KBBI daring (kbbi.web.id), kritik diertikan sebagai "kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya." 

Pengertian kritik menurut KBBI itu sangat longgar. Setiap kecaman atau tanggapan bisa diklaim sebagai kritik. Tak perlu ada dasar berupa uraian atau pertimbangan baik buruk.  Ujaran "pemerintah memihak pengusaha" bisa diklaim sebagai kritik, menurut pengertian itu.  Tanpa perlu mengajukan bukti berupa fakta atau data pemihakan.

Pengertian yang diberikan Merriam Webster Dictionary lebih ketat: "kritik (critique) adalah ujaran formal yang secara tipikal merujuk pada penilaian cermat, di situ seseorang memberikan pandangan tentang sesuatu."  Perhatikan frasa "penilaian cermat".  Artinya ada dasar, fakta atau data, yang valid untuk menilai sesuatu dan kemudian menyatakannya kepada pihak yang dikritik.  Lazimnya berupa "catatan atau komentar yang menyatakan ketaksetujuan."  Hal terakhir ini disebut juga sebagai kritisisme (criticism).

Satu hal kini bisa disepakati: "kritik adalah pandangan evaluatif terhadap sesuatu (a.l. keadaan, program, kebijakan, tindakan) berdasarkan fakta atau data yang valid dan relevan." Dengan pengertian ini, kita sekarang bisa mengulik -- untuk konteks Indonesia hari ini --  apakah benar penguasa takut dikritik dan rakyat takut mengritik.

***

Jika sebuah negara diklaim sebagai negara demokratis, tapi penguasanya takut dikritik dan rakyatnya takut mengritik, maka klaim demokrasi itu adalah kebohongan besar.  Sejatinya negara semacam itu adalah negara diktatorial, totaliter, atau mungkin despotis.

Apakah perilaku penguasa  Indonesia hari ini seperti itu? Bukan satu atau dua kali Presiden Jokowi membuka diri kepada kritik, dari siapa pun, dengan syarat ada dasar fakta atau data yang valid dan relevan. [2]  Bukan asal ngomong, semisal "pemerintah mengkriminalisasi ulama,"  "pemerintah menyudutkan Islam," "pemerintah lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi ketimbang penurunan pandemi Covid-19,"  "presiden melestarikan politik dinasti," "polisi, jaksa, dan KPK tebang pilih kasus hukum," dan "pemerintah tunduk pada kepentingan negara Cina."

Barangkali ada kebenaran pada pernyataan-pernyataan seperti itu. Tapi, jika pernyataan itu tak didukung oleh bukti berupa fakta atau data yang memadai, maka nilai kebenaran itu menjadi nihil. Jika nilai kebenaran pada suatu pernyataan nihil, maka dia bukanlah sebuah kritik, melainkan pernyataan sembarang.  Salah-salah bisa terpeleset menjadi hoaks atau fitnah, tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Tapi, sejauh ini, tidak ada warga masyarakat yang diadukan kepada polisi, atau ditangkap polisi, hanya gara-gara melontarkan ujaran-ujaran tanpa dasar seperti di atas.  Pernyataan semacam itu masih bisa dimaklumi, sekurangnya jika merujuk erti kritik menurut KBBI daring.

Tapi kalau ada pernyataan "penggal kepala presiden,"  "presiden dungu,"  "presiden PKI," "bunuh polisi dan tentara,"  dan lain-lain senada, apakah definisi kritik masih bisa dikenakan?  Jelas tidak! Itu sudah masuk ranah ancaman, fitnah, penghinaan, kebencian, dan provokasi.  Jika karena ujaran semacam itu ada warga yang ditahan polisi, dan memang ada kasusnya, maka dia ditahan bukan karena melontarkan kritik.  Alasan ajaran iman, atau ayat Kitab Suci,  tidak bisa diajukan sebagai pembenaran untuk ujaran-ujaran semacam itu.

Tentu ada perkecualian.  Jika pernyataan semacam itu disampaikan dalam alur logika deduktif, maka sangat mungkin bebas dari tangan polisi.  Hal itu misalnya terjadi pada sejumlah pernyataan Rocky Gerung, sebagai contoh.  Dia bisa mengatakan "tindakan presiden dungu," sebagai sebuah kesimpulan yang dialas oleh sejumlah premis.[3]  Sejauh bisa dibuktikan kelurusan logikanya, maka pernyataan semacam itu mesti bebas dari tuntutan hukum.  Sebab seseorang tidak bisa dihukum karena berpikir logis.

Hal serupa berlaku juga untuk ujaran Din Syamsudin yang mengutip teori politik Islam tentang pemakzulan dari Al-Mawardi, untuk menegaskan alasan untuk boleh memakzulkan seorang presiden.[4]  Walaupun, misalnya, implisit yang disasar adalah Presiden Jokowi, Din tidak bisa dituntut karena dia hanya merujuk pada suatu teori ilmiah. Bukan melakukan provokasi terbuka untuk menggulingkan Jokowi.

Saya sendiri sebenarnya, pada sejumlah artikel, baik di media massa tercetak maupun di media online blog, kerap menuliskan kritik terhadap   kebijakan dan program pembangunan pertanian yang dijalankan Pemerintahan Jokowi.  Tapi jelas dasarnya, data atau fakta empiris. Sejauh berdasar data atau fakta, bukan karangan atau halusinasi, maka tidak ada alasan untuk takut menyampaikan kritik.  Kritik adalah wujud partisipasi politik terbaik yang bisa dilakukan warga masyarakat.

***

Jika seorang pengritik  bilang takut atau tak nyaman melontarkan kritik kepada penguasa Indonesia hari ini, karena takut akan berurusan dengan pihak berwajib, maka dia harus bertanya serius pada diri sendiri, "Apakah benar saya sedang menyampaikan kritik?"  atau, "Apakah pernyataan saya bukan fitnah, provokasi, penistaan, atau hoaks?"

Untuk memastikan jawaban pertanyaan itu, baiklah jika merujuk pada erti kritik yang disepakati di atas: "pandangan evaluatif terhadap sesuatu (a.l. keadaan, program, kebijakan, tindakan) berdasarkan fakta atau data yang valid dan relevan."  Pastikan pemenuhan  tiga frasa ini: "pandangan evaluatif", "berdasar fakta atau data", "valid dan relevan."

Saya yakin pemerintah atau penguasa tidak takut pada kritik yang memenuhi tiga frasa tadi.  Tapi jelas penguasa takut pada ujaran-ujaran kebencian, fitnah, penistaan, provokasi, dan ancaman, sebab hal itu berpotensi menimbulkan perpecahan dan konflik sosial yang berujung pada instabilitas sosial bahkan khaos sosial.

Warga masyarakat pun sejatinya tak punya alasan kuat untuk takut melontarkan kritik kepada penguasa, sejauh itu benar kritik, bukan fitnah dan kawan-kawannya, termasuk provokasi melengserkan presiden.  Mengatakan takut mengritik penguasa karena takut diciduk polisi sama saja dengan mengatakan pemerintah dungu karena tidak bisa membedakan kritik dari, misalnya, penistaan.

Juga tak adil menyebut buzzerRp sebagai alasan takut mengritik penguasa.  Itu penanda seorang pengritik tak bernyali, sekurangnya baperan.  Dalam soal kekebalan terhadap buzzerRp, mengapa tak sudi belajar pada, antara lain,  Fadly Zon, Fahri Hamzah, Denny Siregar, Ade Armando, dan Rocky Gerung.

Kita kini hidup dalam dunia sosial yang terbelah dua secara imajiner, belahan pro-penguasa dan belahan pro-oposisi.  Jadi, entah mengritik penguasa ataupun oposisi, tidak ada seorang pun yang bisa perundungan oleh buzzerRp atau buzzer$.  Takada tempat hidup bermakna di antara dua belahan diametral itu, kecuali seseorang memilih menjadi manusia apatis.(*)

 

RUJUKAN:

[1] "Kwik Kian Gie: Saya Belum Pernah Setakut Ini Kritik Rezim," cnnindonesia.com, 9/2/2021.            

[2] "Jokowi: Masyarakat Harus Aktif Sampaikan Kritik dan Masukan," cnnindonesia.com, 8/2/2021; "Jokowi: Silakan Kritik Tapi Pakai DataJangan Pembodohan, sinarharapan.co, 10/12/2018.

[3] "Jokowi Marah-Marah Pakai Teks, Sindir Rocky Gerung: Dungu!" wartaekonomi.co.id, 30/6/2020; "Sindiran Pedas Gerung Soal Dinasti Kena Banget: Presiden Dungu," wartaekonomi.co.id, 3/8/2020.

[4] "Din Syamsudin: Menurut Teori Islam, Pe makzulan Seorang Pemimpin Bisa Dilakukan,"  akurat.co, 1/6/2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun