Ra: "Eh, ya, terimakasih, Ri. Diingatken. Ya, sama, dong, Ra. Banjir itu genangan yang bergerak. Maksud gue, genangan potensil. Lihat ini sungai. Nanti dia akan menjadi genangan. Namanya laut."
Ri: "Lha, genangan?"
Ra: "Nah, genangan itu banjir yang berhenti. Banjir potensil. Seperti bendungan, itu genangan. Kalau jebol, nah, jadi banjir."
Ri: "Jadi, banjir adalah genangan potensil, genangan adalah banjir potensil?"
Ra: "Eh, apa gue bilang begitu tadi? Itu kesimpulan cerdas. Ternyata, loe lebih cerdas dari Daeng Khrisna, ya."
Ri: "Ra! Naik lebih tinggi! Ada genangan besar bergerak! Kita bisa hanyut!"
Ra: "Walah! Genangan bergerak ternyata sama bahayanya dengan banjir! Â Tapi, ngomong-ngomong, kenapa kita berdua tak berenang-renang saja. Kayak anak-anak Jakarta itu, lho. Siapa tahu terpantau, Pak Anies."
Ri: "Berenang nenek, loe. Emang loe punya kaki dan tangan, apeh."
Ulara dan Ulari nyempil berpelukan -- aih, so sweet -- menghindari genangan bergerak di kolong jembatan. Sambil menyesali ular pertama yang telah memusnahkan kaki dan tangan mereka dulu di Taman Eden. (*)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H