Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Nadin, Milenial, dan Manusia Monodimensi

19 Januari 2021   13:31 Diperbarui: 19 Januari 2021   19:10 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika kamu kaya maka kamu lebih mudah berbuat baik. (Karena kamu tak membenci dunia lagi.)  Jika kamu miskin maka kamu lebih sulit berbuat baik. (Karena kamu sibuk membenci dunia.)

Itu ujaran Nadin Amizah,  penyanyi milenial sohor, dalam satu nomor siniar Deddy Corbuzier.  Redaksinya saya ubah, untuk memudahkan pemeriksaan cacat logika dalam ujaran itu.

Tapi saya tak hendak membahas soal cacat logika itu di sini.  Daeng Khrisna Pabichara sudah membongkarnya (dalam artikel tinanggap,"Mengapa Nadin Amizah Dirisak dan Dirujak oleh Warganet", K. 10.01.2021 ).  

Intinya, ulas Daeng Khrisna, kekayaan tidak dengan sendirinya memudahkan perbuatan baik.  Juga bukan alasan untuk tak membenci dunia.  Sebaliknya, kemiskinan tidak dengan sendirinya menyulitkan perbuatan baik.  Juga bukan alasan untuk membenci dunia.

Daeng Khrisna benar belaka saat berujar ranah kebaikan itu tak semata ekonomi, tapi juga sosial.  Bahkan juga ekologi, jika sudi melebar-lebarkan ranah.

Kebaikan itu multi-dimensional sebagai cermin dari manusia yang mestinya juga multi-dimensional. Tapi, saya pikir, persis di situlah letak persoalannya. Ujaran Nadin itu mencerminkan dirinya yang monodimensi.  Hanya berdimensi ekonomi, Homo economicus.  

Tapi ketimbang merisak dan merujak Nadin, saya memilih untuk melihatnya sebagai persoalan kemanusiaan yang perlu dipikirkan solusinya. Merisak itu hanya bikin sakit hati, sedangkan merujak bikin sakit perut.

Kerisauanku, gejala manusia monodimensi ekonomi itu mungkin memang telah menghinggapi sebagian dari milenial kita.  Saya bilang, sebagian, bukan semua.  Barangkali saja, dan semoga demikian, milenial perisak yang menuduh Nadin merendahkan kaum miskin, tidaklah seperti itu.

Mungkin itu buah dari pilihan negara untuk mengangkat ekonomi sebagai panglima.  Bahkan juga di masa pandemi. Kalau itu benar, maka manusia Indonesia monodimensi ekonomi sudah dibangun sejak 1970-an.  Jadi, bukan gejala kemarin sore.

Hasilnya memang tampak lebih nyata kini.  Dalam bentuk tindakan reifikasi, mengukur segala sesuatu dari dimensi kebendaan, pemilikan ekonomi. Kaya itu berarti punya deposito milyaran, rumah mewah dan properti seabrek, kendaraan mewah sehanggar, tanah sekabupaten, dan lain sebagainya. 

Itu membentuk persepsi milenial tentang tujuan kerja.  Kerja itu untuk kaya raya.  Persepsi ini tentu mengingatkan kita pada seorang sarjana segar dari UI yang meremehkan gaji Rp 8 juta per bulan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun