Begini alasan pertama. Bukannya Ozzy tak dirubung gadis-gadis kinyis dan janda-janja muda saat memainkan gitar dan mengalunkan satu dua judul lagu cinta. Â Bukan, bukan begitu. Â Dia tetap dirubung para perempuan nirmala itu. Â
Sayangnya, nah, ini dia, di situ berlaku fenomena "tukang sayur keliling." Â Tahu maksudku? Â Tukang sayur di komplek setiap pagi dirubung pada gadis, janda, dan ibu-ibu, bukan? Â Semua memanggil tukang sayur dengan sebutan serupa, "Bang," dengan nada genit merdu merayu. Â Lumayan dapat tambahan dua tiga siung bawang merah.
Di situlah letak persoalannya, Kawan.  Jika semua perempuan itu memanggil tukang sayur  itu "Bang,"  maka dia masuk pada pergumulan idiologi anti-diskriminasi.  Dia harus memberi perhatian yang sama kepada semua perempuan pelanggannya. Sebab, jika tak demikian, dia akan kehilangan sebagian pelanggan yang merasa dinomorduakan. Ingat, setiap pelanggan adalah nomor satu.
Itulah yang terjadi pada Ozzy, jomlo kepalang malang itu. Baginya, setiap gadis yang merubungnya saat memainkan gitar dan melantunkan lagu pemetik asmara, adalah nomor satu. Apa maknanya itu?
Maknanya, dari sisi Ozzy, jika setiap gadir yang merubung adalah nomor satu, berarti dia tidak mampu memilih seorang yang tercinta untuk dilamar menjadi istri. Atau dia punya rencana poligami. Aih, poligami juga mengenal nomor satu, dua, tiga, dan seterusnya, bukan?
Lalu, dari sisi para gadis kinyis itu. Semuanya ingin menjadi nomor satu bagi Ozzy. Tak ada yang sudi menjadi nomor dua, tiga, dan seterusnya. Memangnya, jika memperturutkan nurani, apakah ada gadis yang sudi menjadi isteri kedua Ozzy, padahal isteri pertama saja dia belum punya? Aih, absurd pisan.
Itu tadi alasan pertama, bersifat internal. Alasan kedua bersifat eksternal, lebih sulit dihadapi. Kamu harus kuat.
Begini. Di kampungnya, di tempat kerja, di kabupaten, di propinsi, dan di Indonesia, Ozzy itu lebih dikenal sebagai penulis, ketimbang sebagai guru dan pegitar ulung. Nah, status penulus itu yang bikin para orangtua gadis-gadis remaja begidikan. Terbayang madesu anak gadisnya jika bersuamikan seorang penulis di dunia maya.
"Hah! Penulis? Berapa gajimu per bulan?" Para bapak gadis-gadis itu selalu menginterogasi begitu tajam. "Tak tentu, Pak. Tergantung jumlah unique visitors. Ya, rata-rata limatatus ribu rupiah per bulan lah, Pak." Begitu selalu jawaban Ozzy yang malang. "Hah! Â Cuma segitu? Istrimu mau dikasi makan puisi cinta! Mending anak gadisku menikah dengan burung di langit yang tidak menuai tapi memanen!" Bah, penulis jempolan mati kata, sudah.
Sudah terang, bukan, alasan Ozzy masih menjomlo hingga hari ini. Ya, betul. Ozzy tak pandai memilih nomor satu dan tak cerdik seperti burung di langit. Itu kesimpulan penelitian kualitatif, terpercaya, tak perlu diragukam lagi. Kecuali kamu seorang jomlo ngeyelan. Humor aja pake ngeyel segala.
Oh, ya, ada yang kenal siapa itu Ozzy Allandika? Â Bukan, bukan Ozy Alandika, Kompasianer kondang sedunia asli Curup, Bengkulu itu. Â Ini bukan tentang dia. Â Ini tentang Ozzy Allandika, dengan dua /z/ dan dua /l/ pada namanya. Teliti. Kebanyakan baca Kompasiana bikin kamu kurang awaskah?(*)