Daeng Khrisna Pabichara baru saja menebar sebuah hoaks serius di Kompasiana. Katanya, pada tahun 2012 dia menulis novel Sepatu Dahlan, setebal 330 halaman, hanya dalam tempo 10 hari. Kontan, sejumlah Kompasianer terpana, takjub. Betapa hebat, luar biasa, seorang Khrisna Pabichara.
Sehebat itukah? Tidak, Kawan. Itu hoaks! Daeng Khrisna sendiri, dengan segala kerendahan hatinya, sudah mengakui. Katanya, itu hanya dimungkinkan oleh penguasaannya atas pancamodal penulis yaitu kecepatan ketik, kekayaan kosakata, ragangan tulisan, bahan pengaya, dan konsentrasi bulat.
Sekarang, mari kita bertanya kepada Daeng Khrisna. Apakah pancamodal penulis itu mendadak dikuasainya dalam tempo sepuluh hari? Bertepatan dengan proses pengetikan naskah Sepatu Dahlan? Jawabannya, pasti, "Tidak, Kawan." Jadi, berapa lamakah?
Duapuluh dua tahun, ya, 22 tahun lamanya, Kawan. Itu terhitung sejak tahun 1990, saat Daeng Khrisna pada usia 10 tahun (?), baru naik ke Kelas III SD. Waktu itu dia melahap The Early Life-nya Winston Churchill, enam bulan lamanya. Biografi Churchill inilah, serta Memoirs of a Fox-hunt Man-nya Siegfried Sassoon, yang memandunya, saat menganggit Sepatu Dahlan 22 tahun kemudian.Â
Masa 22 tahun itu bukan waktu yang hampa bagi Daeng Khrisna. Dalam periode itu dia telah membelanjakan usianya untuk melahap buku-buku di perpustakaan, serta menulis puisi, cerpen, dan belasan buku. Juga, dalam periode itu, dia telah menghabiskan sekitar 5 tahun dari umurnya belajar teori bahasa dan sastra di perguruan tinggi.
Begitulah proses penguasaan pancamodal penulis dilakoni Daeng Khrisna. Sehingga, ketika dia menyelesaikan 330 halaman Sepatu Dahlan dalam waktu 10 hari, yang ditunjukkan kepada kita sesungguhnya adalah hasil belajar selama 22 tahun. Tanpa kerja keras 22 tahun itu, takkan ada prestasi 10 hari tadi.
Secara teknis, dalam tempo 10 hari itu, Daeng Khrisna sejatinya tidak lagi menulis. Dia hanya "mengetik" sebuah tulisan, novel, yang telah "dipersiapkan" pada tahun 1990, saat dia mempelajari Churchill. Â Sebuah "persiapan" yang dimatangkan dengan sebuah "perjalanan ke masa kecil Dahlan Iskan", selama satu setengah bulan, untuk memastikan Dahlanlah yang berkisah dalam novel itu, bukan Daeng Khrisna.
Begitulah, kita kerap takjub menyaksikan capaian seseorang, tanpa pernah menggali sejarah jerih-payahnya untuk bisa tiba di tingkatan itu. Â Takjub saja tak akan menjadikan kita cerdas. Hanya dengan memeriksa sejarah kerja seseorang, kita bisa mendapat pelajaran yang berguna untuk meningkatkan diri. Â
Capaian Daeng Khrisna mengajarkan kepada kita, tidak ada yang instan dalam dunia kepenulisan. Butuh pengorbanan besar, kerja keras dan keteguhan hati, untuk bisa tiba pada sebuah capaian hebat. Setelah menyadari hal itu, barulah kita layak takjub melihat Daeng Khrisna, "nabi munsyi" yang sahaja itu.
Artikel ini jelas adalah wajud ketakjuban seorang FT kepada Daeng Khrisna. Ini bukanlah sesuatu yang biasa saja, pebila diingat artikel ini adalah 20 persen lagi dari lima penggenap 1,ooo artikel FT di Kompasiana.Â
Ash ... syuh ..., Daeng Khrisna sudah mengambil 40 persen dari kuota artikel FT sebelum lelaki tua itu mengambil retret. Tapi, itu layak, karena Daeng Khrisna adalah fenomena maslahat di Kompasiana.(*)