Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sebuah Retret di Kilometer Seribu Kompasiana

14 Desember 2020   17:28 Diperbarui: 17 Desember 2020   18:30 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari idntimes.com/pixabay/earthroom

Logika, etika, dan estetika.  Senyawa tiga unsur itu adalah  jiwa yang memberi karisma dan kuasa maslahat pada tulisan. Sebab tanpa logika, tulisan adalah dusta; tanpa etika, tulisan adalah racun; tanpa estetika, tulisan adalah sampah.  Itulah suluhku dalam penganggitan, sehingga aku boleh berharap, tulisanku tidak menjadi dusta, racun, dan sampah perusak khalayak.

Cintailah metode, humor, dan puisi.  Tak perlu kuliah logika untuk paham logika; tak harus kuliah etika untuk paham etika; tak mesti kuliah estetika untuk paham estetika. Cukuplah bila mencintai metode yang mengajarkan logika; mencintai humor yang mengajarkan estetika; mencintai puisi yang mengajarkan estetika.  Tiga hal itu telah kulakoni, dan dengan itu aku menaruh jiwa ke dalam setiap tulisanku, sejak dari Kilometer Satu sampai Kilometer Seribu di Kompasiana. 

Anarki itu mengasah intuisi, intuisi merecikkan serendipitas, lalu keseluruhannya menjiwai salingtindak triangular antara idea, data, dan kata yang membangun sebuah tulisan.

Pikiran itu harus merdeka.  Aku tak sudi pikiranku dijajah satu metode, aturan yang dibakukan minoritas tirani sebagai jalan tunggal menuju kebenaran. Pikiran haruslah merdeka, agar darinya boleh mengalir  kebaruan yang maslahat. Maka aku mengikuti jalan Feyerabend, membacakan proklamasi kemerdekaan berpikirku, "Metode tulisku adalah tanpa-metode!" Itulah anarkisme kepenulisan, membolehkan setiap cara tulis, sepanjang dia setia pada rambu-rambu logika, etika, dan estetika. Kusebut itu kenthirisme, kata lain dari anarkisme-inovatif.

Anarki, intuisi, dan serendipitas. Anarki itu mengasah intuisi, kemampuan posnalar yang merecikkan ragam serendipitas, temuan-temuan cerlang tak disangka, ketika melarut dalam dinamika salingtindak triangular antara idea, data, dan kata, yang membangun sebuah tulisan di titik sumbunya. Demikianlah caraku meniupkan jiwa, senyawa logika, etika, estetika pada seribu tulisanku. Sambil berharap mereka benar-benar mengandung jiwa dalam dirinya, agar tak menjadi dusta, racun, dan sampah.

Retret, menepi untuk hening. Aku adalah seorang pejalan anarkis tua di Kompasiana, yang kenal rasa lelah, jenuh, buntu,dan marah, selayaknya seorang anak manusia biasa. Setelah kuberikan semua yang dapat kubagikan, kini dan di sini, izinkanlah aku menepi sejenak dari keriuhan  ajang juang, untuk mengalami hening, pada sebuah retret di Kilometer Seribu Kompasiana. Janganlah kau tanya, sekalipun di dalam hatimu, kapan aku akan kembali.[*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun