Kepada seseorang yang tak mampu mengembangan karunia satu talenta, Tuhan tak akan berkenan mengaruniakan dua apalagi lima talenta. Fakta bahwa dia tak mampu mengembangkan satut talentanya, kendati dilapis seribu satu alasan, sudah cukup menjadi alasan untuk melemparkannya ke ruang gelap. Di situ hanya ada ratap tangis dan kertak gigi.
Tentulah Poltak tak sudi bernasib seperti seseorang yang dikarunia satu talenta. Karena itu sampai hari ini dia masih teguh dalam perjuangan optimalisasi manfaat karunia mukjizat serumpun pisang batu di pekarangan rumahnya. Sesulit apapun perjuangan itu.
Sampai hari ini, dia misalnya belum berhasil menemukan cara pemanfaatan buah matang pisang batu yang, menurut keyakinan Poltak, dikaruniakan Tuhan melalui saluran pencernaan musang pandan itu. Masalah utamanya: bagaimana memisahkan biji dari daging pisang, sebab volume biji lebih besar ketimbang volume dagingnya.
Masalah buah belum terpecahkan, kini muncul masalah baru pula, terkait dengan tiupan angin semi-beliung di Gang Sapi dalam dua hari terakhir ini. Pohon-pohon pisang batu itu menjulang terlalu tinggi. Sehingga mereka menjadi korban pepatah "pohon tinggi besar anginnya". Tiupan angin sedemikian kencangnya sehingga istri Poltak khawatir pohon-pohon itu akan tumbang.
Kalau tumbang begitu saja, tak soal. Masalahnya ada risiko mereka tumbang sambil menimpa kabel-kabel telekomunikasi yang pating-sliwer di depan rumah. Belum lagi risiko tumbang ke pekarangan tetangga sebelah rumah dan menimpa pohon bisbulnya sedang berbuah lebat. Bisa-bisa kena tuduhan memanen bisbul tetangga secara illegal.
"Tebang!" Maklumat istri Poltak tanpa ampun. "Bah, karunia Tuhan ditebang dan dibuang. Bagaimana pertanggungjawabannya di akhirat." Poltak tambah pusing, tujuh kali tujuh keliling. "Tapi," pikirnya kemudian, "karunia harus menjadi kemaslahatan umat.Kalau merusak kabel telekomunikasi dan pohon bisbul tetangga, berarti mudarat." Poltak merasa menemukan alasan agamis untuk menebang beberapa pohon pisang itu.Â
"Dalam teknik budidaya, ini namanya penjarangan tanaman." Poltak mendapatkan pembenaran agronomis saat mulai mengayunkan golok karatan untuk menebas pohon pisang batu itu. Karena tidak ada batang pisang yang kebal terhadap tebasan golok, maka dalam waktu cepat pohon pisang itu langsung tumbang.
Poltak mundur beberapa langkah melihat hasil kerja pengurangan karunia mukjizat serumpun pisang batu itu. "Semua baik adanya," pikir Poltak. Sambil berharap tindakannya bukan sebuah dosa penolakan karunia Tuhan. Melainkan lebih sebagai manajemen optimasi manfaat karunia mukjizat, agar menjadi kemaslahatan bagi keluarga dan orang-orang disekitarnya.(*)
*Ini tulisan ketiga dan (mudah-mudahan) terakhir tentang karunia mukjizat serumpun pisang di pekarangan Poltak.