Sambil berpikir keras, Poltak mengamati pisang itu dengan cermat. Ternyata sekitar 70 persen buahnya gagal berkembang, tetap kecil. Hanya 30 persen yang menjadi buah berisi. Â
"Tuhan Maha Tahu," bathin Poltak. Â "Dengan hanya 30 persen buah sukses saja saya sudah pusing tujuh keliling. Â Bagaimana kalau jadinya 100 persen?" Tuhan tahu seberapa banyak karunia yang diperlukan umatNya. Â Juga tahu seberapa besar kemampuan umatNya memanfaatkan karuniaNya. Tidak baik jika karunia itu berlebihan.
"Itu pula alasannya," pikir Poltak, "Tuhan tak mengirimkan sekilo biji kopi luwak di pekarangan, lewat perut seekor musang." Sebab biaya utilisasi karunia mukjizat seperti itu terlalu mahal untuk Poltak. Â Harus beli mesin peracik kopi, bah, uang dari mana.
"Ah, itu terlalu religius," Poltak mengoreksi pikirannya. Â "Ini cuma cermin kejujuran tanah Jakarta," pikirnya. Â Ya, tanah itu jujur, tak pernah bohong. Â Kalau tanah jelek mutunya, miskin hara, struktur keras, maka hasil taninya juga jelek. Â Sebaliknya kalau tanah subur, gembur, maka hasilnya pasti bagus. Â
Tanah Jakarta memang jelek untuk pertanian. Â Tanah Jakarta hanya cocok untuk menanam pilar bangunan pencakar langit. Â Lapisan atasnya dangkal, air tanahnya jauh di bawah, struktur tanahnya keras dan mampat. Â
Serumpun pohon pisang itu telah diperlakukan Poltak sebagai cukilan pertanian alami di Jakarta. Dia biarkan alam, lewat seekor musang, yang menanam pisang di pekerangannya. Â Dia tak mengolah tanah pekarangannya. Dibiarkannya pisang tumbuh alami, tanpa pupuk, tanpa disiangi. Â Pisang menyerap hara tanah, tanah memberi apa yang dimilikinya.Â
Hasil tani alami itu adalah setandan pisang batu yang buahnya 70 persen gagal berkembang. Â Begitulah, tanah Jakarta tidak bohong. Tak perduli apa pun kata Pak Gubernur.
"Sudah ada ide?" Pertanyaan isterinya mengejutkan Poltak. "Jangan berfilsafat. Filsafat tidak akan menghasilkan resep olahan pisang batu."
"Betapa berat konsekuensi sebuah mukjizat," pikir Poltak. Â Dia heran kenapa begitu banyak orang berdoa minta mukjizat kepada Tuhan. Â Apakah mereka tak tahu betapa berat konsekuensinya? Contohnya karunia mukjizat pisang batu itu. Â
Sekarang dia pusing mencari cara terbaik untuk memanfaatkan buahnya. Â Harus dimanfaatkan. Â Jangan sampai tidak. Â Dosa besar jika tidak memanfaatkan karunia mukjizat dengan alasan tidak tahu caranya.
"Tuhan sudah mengaruniakan akal-budi untukku. Tentu maksudnya agar saya bisa memikirkan jalan keluar dari berbagai persoalan. Â Termasuk soal cara memanfaatkan buah pisang batu." Â Poltak menyemangati dirinya untuk keluar dari kepusingan.