Â
"Poltak! Tunggu!" Â Teriakan Binsar dan Bistok serempak bergema. Â Keduanya berlari dari arah kampung menyusuli Poltak. Â Di bibir tebing, Poltak terhenti, kaku menanti.
"Jangan main sendiri kau!" Â Bistok menegur Poltak sedetik setelah dia dan Binsar bergabung dengan Poltak. Â
"Ayo, siap-siap terjun! Satu, dua, tiga!" Binsar memberi aba-aba. Â Tiga sekawan itu terjun bersamaan ke saluran air di dasar tebing. Â Lalu, tanpa melepas pakaian, Â lari berebut untuk menjadi yang pertama menceburkan diri ke lubuk pancuran. Â Sudah pasti Binsar juara pertama dan Bistok juara ketiga.
Sungguh, Perjanjian Hariara Hapuloan memang bukan janji kosong. Â "Bertiga kami menjadi satu, satu hati, satu derita, satu rejeki," Â demikian bunyi perjanjian yang pernah diikrarkan Poltak, Binsar, dan Bistok.
Kini hati Poltak sedang menderita, karena perpisahan yang menyakitkan dengan Si Harbangan. Hati Binsar dan Bistok juga ikut menderita. Â Bertiga mereka sama menderita. Â
Anak yang sakit hati tidak memerlukan kata-kata penghiburan. Dia hanya memerlukan teman sakit hati. Â Begitu pun Poltak. Â Dia hanya memerlukan Binsar dan Bistok pada waktu yang tepat.
Air mata Poltak telah tercuci oleh air pancuran. Kesedihan telah terobati oleh kegembiraan bermain air bersama Binsar dan Bistok. Â Tawa dan canda telah menggantikan lara dan tangis. Tidak ada masalah yang terlalu berat untuk anak-anak.
Beriring, setelah puas bermain air, tiga sekawan itu berlari pulang mendaki jalan menanjak. Masih dengan pakaian basah melekat di badan. Seperti biasa, Binsar yang terdepan dan Bistok yang terseok di belakang.
"Poltak! Â Dari mana saja kau. Â Lihat itu," Â kakek Poltak menyapa sambil menunjuk ke arah semak-semak di depan rumah. Â "Itu adik Si Harbangan. Â Dari tadi kau ditunggunya." Â Kakek Poltak tersenyum menggodai Poltak.
Poltak menoleh ke arah semak-semak. Â Berdegup jantungnya, melihat seekor kerbau jantan muda berdiri tegak di sana, melihat ke arahnya.Â