Suatu ketika di Aebara, di teduh pedalaman Pulau Bunga. Aku duduk sila di tengah jembar rumah adat. Berbalutkan sarung ikat. Santun di hadapan para mosalaki, riabewa, bogehage. Takzim di depan guci pusaka.
Pane hibi, pane nasi, pane daging, pane air, pane tuak. Diedarkan berputar seruangan. Sejumput hibi, sesuap nasi, sejimpit daging, seteguk air, ditutup seteguk tuak. Semua makan, semua minum, bersama dari satu pane. Sama rata, sama rasa. Aku menjadi mereka, mereka menjadi aku, semua menjadi kami.
Kini tada lagi rahasia di antara kami. Tuturan adat mengalir deras. Tentang asal usul, religi dan hukum, tata dan kuasa. Tentang tanah, air, tanaman dan ternak. Tiada lagi yang tersembunyi setelah seteguk tuak. Sebab tiada lagi mereka, tiada lagi aku, hanya ada kami.Â
Seteguk tuak melarutkan mereka dan aku menjadi satu kami. Lalu tiada lagi dusta di antara kami. Hanya ada keterbukaan, kejujuran lalu kebenaran. Seteguk tuak telah mengaliri pembuluh darah, membuka segala sumbat di hati dan di benak kami.
Suatu ketika di Aebara, di teduh pedalaman Pulau Bunga. Ada kejujuran yang indah dalam seteguk tuak. Sebab dilarutkannya kami dalam satu rasa setanahair, sebangsa, dan sebahasa. Seteguk tuak tak pernah bohong.(*)
*)Puisi ini ditulis berdasar pengalaman nyata tahun 1991 di sebuah desa di pedalaman Ende, Flores. Dipersembahkan kepada masyarakat hukum adat yang menghargai tuak sebagai simbol persatuan dan kesatuan.
**)Kosakata Ende Lio:/pa.ne/: pinggan kayu berkaki, piala kayu;/hi.bi/: emping beras; /mo.sa.la.ki/: raja adat; /ri.a.be.wa/: hulubalang;/bo.ge.ha.ge/: kerabat mosalaki dan riabewa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI