Parandum, anak lelaki bungsu kakek-nenek Poltak, kemarin siang pulang membawa kabar gembira dari Pematang Siantar. Amanguda Si Poltak itu lulus dengan nilai bagus dari SMA Katolik Budi Mulia. Tiga tahun dia menuntut ilmu di sekolah idaman anak Panatapan itu.
Kakek-nenek Poltak bangga dan bahagia tak alang kepalang. Â Akhirnya mereka punya anak lulusan dari sekolah tersohor itu. Parandum menjadi yang pertama di Panatapan. Â
Anak pertama, Amani Poltak dan anak kedua, Nai Rumiris telah mengecewakan. Dua-duanya dulu sekolah di Sekolah Guru Atas Siantar. Tapi Amani Poltak, putus sekolah saat menginjak kelas tiga. Lantaran dia kebelet menikah dengan Nai Poltak. Begitupun Nai Rumiris. Dia dinikahi Ama Rumiris saat kelas dua. Putus pulalah sekolahnya.
Memang begitulah. Â Pernikahan dini menjadi musuh besar sekolah. Sekurangnya, itu sudah terbukti pada keluarga kakek Poltak.Â
Malam di Panatapan baru menjelang, purnama mulai naik benderang, Â tapi tiga kepala sudah perang. Di depan perapian di dapur, kakek dan nenek Poltak bersitegang dengan Parandum. Â Hawa bahagia kemarin, sedikit pun tak lagi terasakan kini.
"Pokoknya, aku harus kuliah di IKIP Siantar, Among, Inong," Parandum menegaskan cita-citanya. "Aku mau jadi guru Bahasa Inggris." Â Nada suaranya pelan, datar tapi teguh. Pesannya tidak bisa lain kecuali satu: kuliah.
"Tidak, amang," Kakek Poltak menolak tegas. Â Tapi dalam nada membujuk, dengan sapaan amang, anak yang dikasihi. "Lulus SMA sudah cukup. Tak perlulah kuliah. Ambil kursus guru saja. Langsung jadi guru SD," lanjutnya. Â
"Tidak, Among. Â Aku harus kuliah. Cita-citaku guru SMA," Parandum teguh pada pendiriannya. Â
Konflik antargenerasi sedang dipanggungkan di dapur. Tabrakan harapan orangtua dan cita-cita anak. Antara kakek Poltak dan anak bungsunya, Parandum. Generasi ketiga, cucu, Poltak, hadir sebagai penonton yang belajar.
"Begini, amang. Kami ini, Among dan Inongmu, sudah tua. Kalau kau cepat kerja, berkeluarga, berketurunan, hidup kami akan lengkap." Â Kakek Poltak membabar harapan. Â
Bagi kakek Poltak, sebagai orangtua Batak, nilai-nilai hamoraon, hagabeon dan hasangapon adalah tujuan hidup. Â Hamoraon, kekayaan, relatif sudah diraih. Hagabeon, beranak-cucu banyak, belum tercapai. Sebab Parandum belum berkeluarga. Karena itu hasangapon, kemuliaan, belum tercapai pula.Â