Sudah enam hari Daeng Khrisna Pabichara raib dari layar Kompasiana. Â Terakhir, seminggu lalu, dia menaja-tayang artikel "Onomatope dan Penulis Kaya Kata" (K, 6/10/2020). Setelah itu, artikel anggitannya alpa. Sampai hari ini.
Saya punya tiga alasan penting untuk mempertanyakan keberadaan Daeng Khrisna, sapaan akrab saya untuknya.
Pertama, sebagai sesama rekan Kompasianer, baiklah jika peduli satu sama lain. Tak terkecuali antara Daeng Khrisna dan saya. Terbiasa bertegur sapa, juga baku-ledek, tiap hari di Kompasiana, terasa ada yang hilang saat Daeng Khrisna tiba-tiba tak hadir. Â Â
Apakah itu berarti saya tak merasa kehilangan jika Kompasianer lain tiba-tiba raib? Itu, sih, tergantung pada intensitas interaksi di Kompasiana. Â Kalau dia Kompasianer yang belum pernah berinteraksi dengan saya, ya, tentu saja taka da rasa kehilangan. Tahu juga, tidak. Â
Tapi kalau tiba-tiba Pak Tjip atau Bu Lina yang raib, pasti saya merasa kehilangan, dan bertanya-tanya. Sebab interaksi saya dengan mereka di Kompasiana cukup intensif.
Kedua, saya kehilangan kesempatan belajar Bahasa Indonesia karena kealpaan artikel-artikel Daeng Khrisna. Â Sudah pernah saya tuliskan, Daeng Khrisna adalah nabi munsyi, seorang nabi bahasa yang gigih meneriakkan dosa-dosa berbahasa kita di Kompasiana. Â
Kita semua, atau saya saja kalau Anda ogah, memerlukan kehadiran seorang nabi munsyi dalam dunia kebahasaan. Kita memerlukan seseorang yang rajin menunjukkan kesalahan kita, betapapun tak enaknya itu. Mungkin kita menolak mengikuti kata-katanya, itu pilihan. Tapi setidaknya, kita tahu bahwa kita ini kaum keras tengkuk.
Saya tak hendak mengatakan Daeng Khrisna dalam posisinya sebagai nabi (dengan /n/) munsyi pasti benar. Tidak. Tapi setidaknya dia sudah mengingatkan saya, seorang anarkis, untuk tetap setia memastikan logika, estetika, dan etika dalam berbahasa Indonesia.
Ketiga, pada awal Bulan Bahasa (Oktober) ini, Daeng Khrisna sudah berjanji untuk hadir setiap hari dengan satu artikel selama sebulan penuh. Itu janji seorang Daeng, dengan kepastian yang tak seharusnya diragukan lagi. Kecuali ada kendala genting, kondisi memaksa.
Khawatir ada kendala genting yang mengadang Daeng Khrisna, maka saya harus meredam hasrat pribadi saya untuk menikmati artikel-artikelnya pada hari-hari ini. Sambil saya berdoa, jika ada kendala maka biarlah itu sebuah alangan nauli, kendala yang berkah, sehingga boleh berharap, besok Deng Khrisna akan hadir lagi di sini. Untuk kita semua. Amin.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H