Kilau mata bilah belati itu menebar hawa teror dari genggaman nenek Poltak.
"Sini. Bantu ompung menyembelih ayam." Â Nenek Poltak minta bantuan. Â Seekor ayam akan disembelih.Â
Pandangan Poltak tertumbuk pada seekor ayam yang terkurung di bawah keranjang rotan di samping tungku.
"Bah, sedap kali. Â Pantat bocor, selamatan makan gulai ayam," sorak Poltak dalam hati. Â Mendadak rona wajahnya cerah ceria. Â "Bagus juga kalau pantat kiri minggu depan bocor pula," terawangnya.
"Sore ini kita akan kedatangan tamu. Potong ayam untuk menjamunya." Nenek Poltak seolah membaca pikiran Poltak.
"Tamu, ompung?"
"Iya. Â Tadi burung celepuk bunyi di pohon kemiri di kebun belakang." Â Orang Batak, sekurangnya di Panatapan, percaya burung celepuk yang berbunyi siang hari di dekat rumah adalah pertanda akan ada tamu.
"Siapa, ompung. Â Dari mana?"
"Mungkin ompungmu. Â Dari Timur." Â Nenek Poltak menduga. Â Bukan. Â Bukan menduga. Â Itu suatu keyakinan, sebuah kepastian. Â Suara alam tak pernah bohong. Karena itu seekor ayam harus menjadi gulai sedap.
Timur, pemendekan Sumatera Timur, Â adalah sebutan orang Batak Toba untuk daerah Simalungun, Deliserdang dan Asahan. Â Di daerah itu banyak bermukim migran asal Toba dan Samosir. Karena itu, lazim orang Batak di Toba dan Samosir memiliki sanak-saudara di sana.
Generasi pertama migran Batak Toba ke Sumatera Timur didatangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada pertengahan 1910-an. Â Waktu itu Perang Dunia I sedang berkecamuk. Â Pelayaran terganggu. Â Impor beras dari Indocina ke Sumatera Timur terkendala. Buruh perkebunan terancam krisis pangan.