Di atas panggung itu, Menkes Terawan secara in absentia diberondong Najwa dengan sejumlah pertanyaan bernada menyidik bahkan menghakimi.
Salah satunya pertanyaan tentang kesediaan Menkes Terawan mengundurkan diri seperti sejumlah Menkes di negara lain. Pertanyaan ini tidak salah, tapi sudah implisit menghakimi Menkes Terawan. Secara tidak langsung juga menyindir Presiden Jokowi, sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas penunjukkan Terawan sebagai menkes.
Memang betul bahwa publik berhak tahu semua kebijakan dan program pemerintah, dalam hal ini Menteri Kesehatan, terkait penanggulangan pandemi Covid-19. Namun hal itu tidak berarti pula bahwa seorang menteri harus menyampaikannya lewat acara Mata Najwa. Seolah-olah acara itu adalah representasi dari publik. Â
Harus diingat ada DPR RI sebagai representasi rakyat Indonesia. Bahwa kinerja DPR RI mungkin kurang memuaskan, hal itu tidak berarti bahwa Mata Najwa menjadi alternatif bagi DPR RI. Â
Tindakan seperti acara Mata Najwa itu, sekalipun kreatif, menurut saya bukan saja tidak etis tetapi juga merecoki Menkes Terawan yang sedang fokus kerja keras menanggulangi pandemi Covid-19.
Saya teringat pada teguran keras Luhut Panjaitan kepada Najwa Shihab ketika, dalam acara dialog, Najwa menayangkan foto kerumunan massa dalam rangka deklarasi paslon Pilkada. Luhut mengingatkan, mengapa Najwa harus melancarkan provokasi dengan menampilkan foto semacam itu. Bukan soal benar atau salah, tapi soal manfaat atau mudarat.
Satu hal yang harus dipahami, Kementerian Kesehatan adalah institusi yang paling tinggi tingkat kegiatan dan stresnya dalam penanganan pandemi Covid-19. Fakta bahwa kantor Kemenkes kini menjadi "klaster penularan" harus dipahami dalam konteks itu.
Ketika kementerian lain bisa menjalankan WFH secara optimal, hal itu tak berlaku untuk Kemenkes. Bisa dibayangkan akan separah apa kini pandemi Covid-19 di Indonesia, jika WFH diberlakukan untuk mayoritas aparat Kementerian Kesehatan.
Di sisi lain, kinerja Kemenkes dalam penanggulangan Covid-19 sangat ditentukan juga oleh faktor tingkat kemiskinan sosial, yaitu kadar solidaritas sosial atau tanggung jawab sosial dalam masyarakat. Sangat jelas bahwa masyarakat Indonesia pada semua lapisan sosial dan golongan sosial adalah pengidap kemiskinan sosial yang kronis. Â
Hal itu terbukti dari rendahnya disiplin masyarakat, baik warga maupun aparat, baik orang miskin maupun orang kaya secara ekonomi, untuk mematuhi protokol Covid-19, khususnya kebijakan jarak fisik dan jarak sosial. Melanggar protokol "jarak" berarti indikasi kemiskinan sosial, ketiadaan tanggung jawab sosial atau tanggung jawab terhadap keselamatan bersama. Â
Kemiskinan sosial semacam itu kontraproduktif terhadap upaya-upaya penanggulangan Covid-19 yang dilaksanakan Kemenkes. Kementerian ini menjadi seperti Sysiphus yang mendorong batu ke puncak gunung. Tapi kemudian, akibat kemiskinan sosial masyarakat, klaster pandemi Covid-19 tumbuh lagi, sehingga Sysiphus (kinerja Kemenkes) merosot lagi ke bawah.