BAGIAN PERTAMA: ACAK
Ama Rugun, seorang guru SMP di Tanah Batak, menggugat Gregor Mendel, sekali waktu di tahun 1965. Â
Poltak, anak lelaki usia 5 tahun, kelahiran Kampung Panatapan, Tanah Batak dimajukannya sebagai sebuah dalih yang sah.Â
Profil Poltak, menurut Ama Rugun, telak mematahkan Hukum Mendel tentang hereditas, pewarisan sifat tetua. Â
Katanya, "Coba dulu bukan kacang polong, tapi Poltak yang dijadikan obyek penelitian hereditas. Pasti Mendel akan menyimpulkan  pembentukan sifat turunan bukan proses genetika semata.  Tetapi juga proses religi."
Hal itu dikatakannya karena Poltak mewarisi bakat Raden Saleh dalam seni lukis. Â Padahal bapak dan ibunya tidak punya bakat melukis. Â Begitupun kakek dan neneknya. Â Juga kakek-buyut dan nenek-buyutnya.
Satu-satunya penjelasan untuk bakat Poltak itu adalah doa neneknya. Â Saat Poltak dikandung ibunya, neneknya -- dari garis bapak -- rajin berdoa agar diberi cucu yang pandai melukis.
Bukan karena neneknya kenal dengan Raden Saleh. Tapi karena sakit hati oleh penolakan seorang pelukis. Masih keponakan jauh. Â Pelukis itu menolak permintaannya untuk dilukis.
Doa seorang nenek yang sakit hati amatlah manjur. Setidaknya, begitu yang terjadi pada Poltak. Â
Jika ada yang bertanya, "Poltak, dari mana kamu dapat bakat melukis?" maka jawabnya, Â "Dari doa nenekku."
Pada usia 5 tahun, Poltak kecil sudah terkenal sebagai pelukis cilik di seantero Kampung Panatapan. Dia dijuluki "Pelukis Halaman Rumah" dari Panatapan. Â Â