Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waspadalah, "Profesor Humoris Causa" Ada di Sekitar Kita

6 Agustus 2020   15:03 Diperbarui: 6 Agustus 2020   16:40 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada orang yang percaya pada seorang tukang obat yang mengaku kuliah di University of Osolemio,  Italia dan sukses meraih gelar akademik Profesor, maka dia adalah orang terdungu di abad ini.

Mengapa? Sebab, pertama,  University of Osolemio itu tak pernah ada sepanjang sejarah peradaban manusia. Kedua, Profesor itu bukan gelar akademik yang bisa diraih lewat jalur kuliah. Dia adalah jenjang jabatan fungsional tertinggi untuk para dosen, pengajar di Perguruan Tinggi.  

Carilah ke seluruh universitas di dunia. Tak akan ketemu dengan jenjang pendidikan, misalnya Strata 4, khusus jenjang Profesor. Jenjang pendidikan tertinggi adalah Strata 3, untuk gelar akademik yaitu Doktor (Dr) atau Philosphy of Doctor (PhD). Itulah gelar akademik tertinggi yang mungkin diraih seseorang.

Jadi, sekalipun Poltak misalnya mengikuti dan lulus jenjang pendidikan Strata 3 di tiga universitas, tetap saja gelarnya Doktor. Paling banter dia  cuma bisa pamer tiga gelar di depan namanya:  Dr., Dr., Dr. Poltak. Lalu orang mungkin bisik-bisik, "Kasihan, Si Poltak itu pengangguran. Kerjanya sekolah melulu."

Sejak tahun 2007 gelar Profesor hanya dapat dicapai seorang dosen bergelar akademik Doktor, dengan kualifikasi kepangkatan Pembina Utama Madya, golongan IVd dan total angka kredit minimal 850.  Lazimnya juga harus memiliki publikasi internasional, dalam bahasa asing (Inggris, Prancis), entah itu artikel dalam  jurnal atau buku.

Dulu, sebelum tahun 2007, masih dimungkinkan seorang dosen tua bukan Doktor untuk menjadi Profesor, asalkan golongan dan angka kreditnya sudah memenuhi syarat.  Jadi jika ketemu dengan seseorang yang bergelar Prof. Ir. atau Prof. Drs., maka dia itu pasti produk lama.

Menjadi Profesor itu memang idaman setiap dosen. Alasannya, pertama, itulah puncak jabatan fungsional tertinggi dalam karier seorang dosen. Kedua, gengsi sosialnya sangat tinggi dalam masyarakat. Ketiga, tunjangan fungsionalnya juga besar. Menjadi Profesor itu memang top bangetlah.

***
Di dalam surat keputusan pengangkatan, sebenarnya tidak ada tertulis gelar Profesor, melainkan Guru Besar. Gelar Profesor itu mengikuti penyebutan Guru Besar di universitas negara-negara Barat. Di sana memang digelari begitu, bukan Big Teacher atau Grand Teacher, misalnya.

Diambil dari kata Latin, profess, profesor itu diartikan sebagai "orang yang diakui publik sebagai ahli di bidang sains, teknologi ataupun seni." Artinya, seorang Profesor itu menguasai keahlian tertentu, mengembangkan keahlian tersebut dan memiliki prestasi tinggi (konsep, teori, temuan, inovasi) di bidang keahliannya itu.  

Prestasi tersebutlah yang menjadi  legitimasi bagi seorang Profesor untuk mengajar dengan kapasitas sebagai Guru Besar, guru level tertinggi. Legalitasnya, ya, pada SK Pengangkatan Guru Besar yang dipegangnya.  

Karena gelar Profesor menunjuk pada "orang yang memiliki penguasaan tinggi atas sains, teknologi, atau seni tertentu", maka seorang periset mumpuni pun secara logis berhak digelari Profesor.  Tradisi seperti itu sudah ada sejak lama di Rusia dan China.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun