Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Air Mata di Bunga Cengkeh Flores

27 Juli 2020   14:45 Diperbarui: 27 Juli 2020   19:36 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi cengkeh berbunga (Foto: bulelengkab.go.id)

(Untukmu petani cengkeh Manggarai, Flores)

Tuan-tuan saudagar VOC sudah lama mati. Bibit cengkeh Maluku sudah menyeberang jauh ke Pulau Flores. Hujan Desember menuntun akarnya menembusi batu bertanah, tegak lurus menghunjam ke dalam perut bumi Pulau Bunga itu. 

Panorama perbukitan Flores di bulan Juni adalah puisi semesta alam. Hijau dedaunan cengkeh berselimut polkadot merah bunga-bunga meruapkan wangi rejeki panen. Bunga-bunga eksotis mengundang kawanan kumbang dalam rupa tengkulak.

Monopoli katanya sudah lama mati. Tapi mengapa puisi cengkeh di lereng-lereng pegunungan Pulau Bunga menguras kering air mata petani? Mengapa harga bunga cengkeh tiada cukup membeli sehelai jua sapu tangan penyeka keringat?  

Bukan wangi rejeki panen yang semerbak dari bunga-bunga eksotis itu melainkan ruap bau busuk petaka rugi yang meniup mati api di tungku petani.  

Wahai Tuan Presiden, Tuan Menteri dan Tuan Gubernur yang duduk di kursi empuk hasil pajak cengkeh. Ke manakah sorot matamu kau tolehkan di saat air mata petani tumpah menggenangi tumpukan bunga cengkeh? Kemanakah liang telingamu kau sedengkan di saat teriakan parau petani cengkeh mohon keadilan menderu-deru dari puncak-puncak pegunungan Flores?

Tuan-tuan saudagar VOC sudah lama mati. Petani cengkeh hanya berharap tak lagi berurai air mata di saat memetik bunga-bunga cengkeh yang puitis di curam lereng-lereng perbukitan Pulau Bunga.(*)

Gang Sapi Jakarta, 27.07.20

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun