Rekan Jati yang super-kenthir ini sempat menghilang dari peredaran untuk waktu yang cukup lama. Kabarnya dia sedang sibuk menyusun skripsi. Itu dipastikan hoaks karena, menurut gossip, dia itu bikin skripsi di Pasar Inpres Yogya.
Sekarang rekan Jati sudah nongol lagi di Kompasiana. Â Tapi artikel-artikelnya tidak habul jenaka lagi. Â Dia kini sibuk menulis hal-hal yang sudah dilupakan dan tak hendak diingat orang. Â Tepatnya tentang batu-batu bertulis, tahun-tahun dan nama-nama raja dan kerajaan jaman baheula. Â Dia bilang itu sejarah. Apa iya, tho.
Mungkin peralihan Jati dari humor habul ke artikel sejarah, kalau benar itu sejarah, itu bertujuan menanggalkan kutukan centang hijau dari namanya. Dia pikir itu akan berhasil. Admin K tak akan memberikan centang biru untuknya. Khawatir dia nanti jadi getol mengadaptasi filem biru menjadi artikel humor biru.  Sebab tak ada yang yakin Prof  Jati sudah benar-benar sembuh dari kekenthirannya.
Kompasianer Susy Haryawan lain lagi perkara kenthirnya. Dia ini sudah kebal saya rundung. Sedemikian kebalnya sehingga dia sukses meraih predikat "Best Opinion", entah tahun berapa, labtaran artikel-artikel politik kenthirnya.
Rekan Susy sudah punya "signature" artikel. Jika di Kompasiana ada artikel yang setia menggunakan kata "ugal-ugalan" dan frasa "jadi lucu", yakinlah penulisnya pasti Mas Susy. Itu ciri khasnya dalam berbahasa.
Artikel-artikel politik Mas Susy selalu bikin kenthir politisi yang membacanya. Gaya bahasanya khas Antasena, analisisnya tajam bikin kuping merah. Soal apakah terpercaya, ya, silahkan periksa sendirilah. Â Yang jelas, dia diberi centang biru oleh Admin K berkat artikel-artikel politik kenthirnya.
(3)
Akhir 2010-an ditandai dengan banjir Kompasianer millenial. Â Mereka bernongolan layaknya jamur di musim kemarau basah. Â Ya, musim kemarau basah, sebab di era ketakpastian iklim global kini, hujan bisa turun kapan saja, bahkan di luar musim. Â Demikian pula jamur, bisa tumbuh mendahului masanya.
Saya sebenarnya berharap dari generasi Kompasianer ini tumbuh kelompok eksklusif Kompasianer kenthir milenial. Misalnya, saya berharap pada nama-nama Juandi, Zaldy, Ozy, Reba dan Neno. Â
Tapi itu rupanya harapan hampa. Â Mereka terlalu rapih dan santun untuk usianya. Tidak ada bakat kenthir secuil pun. Juga tak ada keberanian untuk mencoba kenthir. Kasihan banget, miris jadinya.
Saya curiga Kompasianer milenial ini adalah korban ambisi orang tua. Anak-anak yang dulu dipaksa untuk cepat sukses dan dewasa. Sekolah ditarget kelas akselerasi, sekurangnya 5 besar di kelas. Â Disuruh ikut les ini dan itu, bimbel ini dan itu. Mereka lalu tumbuh menjadi millenial yang serius, ambisius dan lurus.
Di Kompasiana mereka sangat serius dan sopan seperti masa sekolah. Fokusnya mengejar posisi Artikel Utama dan centang biru. Â Tidak ada waktu untuk nyeleneh, apalagi untuk coba-coba kenthir. Â Harus jaim, dong, apalagi kalau sudah centang biru. Â