Idiotisme adalah semangat penciptaan dan penyebaran ujaran-ujaran dungu, pernyataan-pernyataan yang kedengarannya hebat padahal minus akal sehat. Â
Saya kutipkan beberapa contoh ujaran dungu "juru kotbah" yang viral di saluran Youtube dan media sosial. "Orang Batak Kristen berwajah jelek karena makan daging babi dan anjing." "Ayah saya seorang kardinal." "Saya lulusan S3 Universitas Vatikan." "Lagu anak-anak 'Balonku' anti-Islam."
Ujaran-ujaran itu berkualitas dungu karena minus logika. Tidak ada bukti bahwa makan daging babi dan anjing menyebabkan wajah jelek. Tidak ada bukti Kardinal (pejabat Gereja Katolik setingkat di bawah Paus, memilih hidup selibat) masa kini menikah dan punya anak. Tidak ada sebuah institusi pendidikan bernama Universitas Vatikan. Letusan balon warna hijau bukan penanda kehancuran Islam.
Ujaran dungu diproduksi dengan menggunakan "metode" sesat pikir, penyingkiran akal sehat ke tempat sampah. Bukan karena produsernya asli dungu, tapi karena dia menganut faham idiotisme untuk mencapai tujuan atau kepentingan tertentu. Misalnya untuk meraih banyak pengikut atau uang atau keduanya.
Latah sosial adalah diseminasi produk idiotisme, ujaran-ujaran dungu itu. Dia bisa disebarkan secara polos, apa adanya. Â Bisa juga dalam kemasan baru, diberi bumbu opini atau ditempatkan dalam sebuah kerangka pikir (framing) tertentu. Tujuannya sama, untuk eskalasi jumlah pengikut dan (kemudian) uang.
Di era Internet of Things ini latah sosial itu dikenal dengan istilah teknis "viral", menyebar luas seperti virus. "Internet" adalah "udara", medium penularan bagi "virus" idiotisme atau ujaran dungu itu. Â
Targetnya adalah kejadian "pandemi" idiotisme atau kedunguan, setelah itu lalu pelancaran "kekuasaan". Â Sebab publik yang sudah (di)dungu(kan) lebih mudah dikuasai dan digerakkan ketimbang publik yang kritis.
Sejatinya ujaran-ujaran dungu produk idiotisme itu adalah "(informasi) sampah" atau polutan. Karena itu proses penyebarluasannya di ruang publik adalah proses penyampahan atau polusi lautan informasi. Â Dilakukan secara langsung oleh aktor-aktor idiotisme, atau secara tak langsung oleh persona-persona "pengidap" latah sosial.
Jika proses penyampahan itu berlangsung di media literasi daring, maka dia tepat disebut sebagai polusi literasi. Â Itulah suatu keadaan dunia literasi daring penuh sesak oleh informasi dungu, sampah, produk idiotisme.
Dunia literasi Kompasiana juga rupanya tak bebas dari polusi semacam itu. Sejak kemarin (22.07.2020) misalnya blog bersama ini ikut tepolusi oleh ujaran dungu "klepon tidak Islami", mungkin karena klepon bertabur "salju" (simbol Kristen?) kelapa parut. Â Artikel "klepon tidak Islami" susul- menyusul tayang berusaha merebut perhatian pembaca dengan judul-judul yang aduhai.
Saya sudah pada kondisi psikologis "muak sosial" terhadap ujaran-ujaran dungu semacam itu. Â Karena itu sengaja saya tidak mengakses berita atau tulisan terkait ujaran itu di Youtube, media daring ataupun media sosial.