Saya sempat tercenung seusai membaca artikel rekan Kompasianer Khrisna Pabichara, "Ketidakadilan Gender dalam KBBI" (K.08.07.20), tadi pagi. Â Tak pernah terpikir sebelumnya bahwa sebegitu seksisnya KBBI kita. Â Atau sebegitu SARA-nya, jika gender masuk dalam kategori "Antar-golongan" dalam singkatan inisial itu.Â
Bahwa lema "gender" dalam KBBI diartikan secara keliru parah, dengan menyamakannya pada seks (jenis kelamin), sudah cukup sebagai penduga tentang adanya ketaksetaraan (ketakadilan) gender di dalamnya. Â Setiap sarjana dari rumpun sosial-humaniora mestinya sudah harus tahu bahwa gender adalah kategori sosiologis sedangkan seks kategori biologis.Â
Misalnya, sudah harus tahu bahwa seorang "laki-laki" (kategori biologis, seks) diterima sebagai "kepala keluarga" (kategori sosiologis, gender) kerena secara sosial staus dan perannya dikonstruksikan seperti itu. Â
Rekan Khrisna sudah menunjukkan banyak contoh ketaksetaraan gender dalam KBBI sehingga saya tak perlu mengulangnya di sini. Intinya, lema-lema terkait gender atau seks dalam kamus besar itu menempatkan perempuan "lebih rendah dan lebih negatif" dibanding laki-laki. Â
Sangat mengerikan menemukan kenyataan bahwa lema "perempuan" di KBBI itu banyak sekali predikat bernada "negatif"-nya dibanding lema "laki-laki". Â Demikian pula dengan lema "janda" dibanding "duda". Â
Jika merujuk pada uraian rekan Khrisna, bisalah disimpulkan bahwa KBBI itu punya dua fungsi terkait gejala ketaksetaraan gender. Pertama, dia adalah pendokumentasian ketaksetaraan  gender dalam masyarakat Indonesia.  Kedua, karena menjadi rujukan berbahasa, maka dia adalah instrumen sosialisasi dan pelestarian ketaksetaraan gender dalam masyarakat kita. Â
Ini kali kedua saya tercenung soal ketaksamaan gender dalam teks. Â Kejadian pertama tahun 1990, ketika Helene van Klinken (isteri Indonesianis Gerry van Klinken), rekan sekelas di UKSW Salatiga menulis tesis tentang ketimpangan gender dalam buku bacaan Sekolah Dasar. Â Â
Dalam buku-buku itu selalu disebut, misalnya, "Ibu pergi ke pasar, Bapak pergi ke kantor." Â Atau "Ani main masak-masakan, Adi main perang-perangan." Â Hal-hal semacam itulah. Â Kesimpulannya, di Indonesia ketaksetaraan gender telah disosialisasikan atau dilestarikan secara formal lewat proses pendidikan.
Saya sebenarnya bukan ahli ataupun pemerhati bahasa. Hanya saja saya belajar dari Prof. Liek Wilardjo, fisikawan peminat bahasa, guru saya di UKSW Salatiga, bahwa setiap warga Indonesia harus peduli pada bahasa nasionalnya.
Itu sebabnya saya begitu serius bertanya pada rekan Khrisna apakah komposisi penyusun KBBI itu didominasi laki-laki sehingga pengartian lema-lema tadi jadi bias lelaki? Rekan Khrisna bisa menjamin bahwa jumlah perempuan dan laki-laki berimbang dalam tim. Jadi jelas ini bukan soal dominasi laki-laki atas perempuan dalam arti jumlah persona.
Kalau begitu, penjelasan yang paling masuk akal kiranya adalah dominasi atau bekerjanya kuasa patriarki dalam proses penyusunan KBBI. Artinya, setiap lema diartikan dari sudut pandang laki-laki. Â