NTT itu bukan sentra utama produksi cengkeh di Indonesia. Dengan perkiraan produksi 3,645 ton tahun 2020, NTT hanya menduduki urutan ke-12, persis di bawah posisi Kepulauan Riau.Â
Lima besar produsen cengkeh nasional adalah Sulawesi Selatan (20.363 ton), Maluku (20.006 ton), Sulawesi Tengah (17.994 ton), Sulawesi Tenggara (14.700 ton) dan Jawa Timur (11.461 ton). Kalau diibaratkan tim sepak bola, NTT itu masuk dalam barisan "pemain cadangan".
Untuk lingkup NTT sendiri, daerah produsen utama cengkeh adalah Pulau Flores. Produsen utama tentu saja Trio Manggarai (timur, tengah, barat), terutama Manggarai Timur, lalu Sikka, Flores Timur, Ngada dan Nagekeo. Total produksi cengkeh Trio Manggarai tahun 2016 misalnya tercatat 1,508 ton atau 48 persen dari total produksi cengkeh NTT.
Tapi jika membanding dengan angka produksi tanaman perkebunan utama NTT yaitu kelapa, jambu mete dan kemiri, maka cengkeh memang tidak masuk hitungan. Dalam buku Statistik Pertanian NTT tahun 2018 tercatat produksi kelapa 69,597 ton (Flores 40,327 ton), jambu mete 49,901 ton (Flores 32,467 ton) dan kemiri 28,184 ton (Flores 14,965 ton).Â
Flores ternyata memang pulau perkebunan rakyat terbesar di NTT. Ironisnya data produksi tanaman cengkeh tidak tercatat dalam buku Statistik Pertanian NTT tahun 2018. Ini pertanda komoditas itu memang kurang diperhitungkan pemerintah di sana. Sehingga bisa diduga, petani cengkeh harus memperjuangkan nasibnya.
Karena itu, walau ada perasaan getir, saya tidak terlalu heran sebenarnya ketika rekan Kompasianer Reba GT, seorang petani cengkeh di Manggarai mengeluh pilu menyambut panen raya lewat artikel "Tak Dipanen Sayang, Dipanen Malah Rugi" (kompasiana.com, 2/6/2020).Â
Soalnya harga cengkeh kering sedang panen anjlok di tingkat pengepul. Sehingga harga per kilogramnya jauh di bawah harga produksi.
Jika bunga cengkeh itu sudah sampai mekar mewangi, maka air matalah upah bagi petani. Sebab bunga cengkeh mekar itu sudah turun mutu dan harganya lebih anjlok lagi. Itu sebabnya rekan Reba bilang "tak dipanen sayang, dipanen rugi".
Saya pikir, jangankan untuk cengkeh yang periferal, untuk kasus kelapa, jambu mete dan kemiri hal serupa juga terjadi. Harga jual produk kering panen terlalu rendah.Â
Itu bukan gejala baru. Tahun 1990, atau 30 tahun lalu, saya menemukan kenyataan di Wolowaru, Ende bahwa biji mete kering panen dijual hanya Rp 3,000 per kilogram.Â
Saya bilang kepada petaninya, dengan uang Rp 3,000 di Jakarta hanya akan mendapatkan beberapa butir biji mete asin dalam kemasan plastik kecil. Dia hanya menganga dengan mata terbelalak, membuat hati terasa pilu.