Tabuh bedug magrib itu tiba jua. Berita langkahku sampai sudah di ujung jalan hening. Setelah tigapuluh hari kulalui. Beranjak ku setindak sehari. Â
Ku telah melangkah dibalik tirai pengasingan diri. Menyepi di jalan suwung. Tuk menangkal pandemi bersemi.
Sebab tidak ada ruang bagi petaka. Pada tubuh yang menyepi ke peluk benteng hening.
Tiada pula yang perlu ku sesali dari hilangnya riang gembira. Pada saat bedug kemenangan ditabuh. Tapi gemanya lirih di gendang telinga.
Sebab gembiraku itu adalah sendiriku dibalut hening. Sendiriku yang menyelamatkan bagi semua.
Ini 1 Syawal 1441 Hijriah. Hari kemenangan bagi sendiriku. Atas semua ego, keinginan badan, dan hasrat rendah.
Telah ku lingkari tanggal kemenangan itu. Dengan tinta emas terbaik. Di helai kelima pada kalender dinding kamarku. Â
Sebab kemenangan itu adalah kurniaMu. Olehnya segala petaka dikubur ke lembah tanpa dasar. Â
Pada kemenangan hening di puncak Ramadhan ini. Telah ku dengar suaraMu menjanjikan satu harapan. Tentang hidup esok yang lebih indah. Â
Maka ijinkan aku memuliakan namaMu. Sebelum memohon maaf lahir dan bathin kepada sesama. Di tengah parade ketupat dan opor kemenangan ini. (*)
Jakarta, 1 Syawal 1441 Hijriah