Pembangkangan Deakparujar itulah awal kisah penciptaan bumi manusia, Banua Tonga. Benua Tengah yang berada di antara Benua Atas (jagad dewata) dan Benua Bawah (jagad kegelapan).
Tak sudi diperisteri Raja Odapodap, dewa "buruk rupa", Deakparujar, dewi "elok rupa" melarikan diri dari Benua Atas.Â
Deakparujar melemparkan turak, gulungan benang tenun, menembus Benua Atas ke bawah. Â Dia lalu turun bergelantungan pada utas benang itu, jauh ke bawah, ke dunia gulita.
Ketika kakinya menyentuh turak, sadarlah dia sedang diombang-ambing ombak lautan, sambil bergelantungan pada seutas benang.Â
Hamparan lautan gelap itu adalah perbatasan Benua Atas dan Benua Bawah.
Takut akan kegelapan, Deakparujar memohon pada Mulajadi Nabolon agar diberi terang. Maka jadilah terang.Â
Deakparujar kini busa melihat sekeliling. Ternyata tidak ada tempat berpijak baginya, kecuali batang turak. Â
Agar punya tempat berpijak, Deakparujar meminta sekepal tanah kepada Mulajadi Nabolon.  Dewata Agung ini lalu mengirimkan sekepal tanah dan tongkat sakti bernama Sipituulu Sisiatanduk (Berkepala Tujuh Bertanduk Sembilan) untuk pijakan Deangparujar. Â
Deakparujar menancapkan tongkat sakti itu di tengah lautan dan mulai menempa bidang tanah di atasnya. Dia menempa tanah selayaknya menenun kain, keahlian utamanya.
Mulajadi Nabolon mencobai Deakparujar. Raja Padoha, penjaga Benua Bawah, diutus untuk merusak tanah tempaannya, dengan cara menggoyang-goyang tongkat sakti yang menjadi pilarnya sehingga terjadi gempa. Enam kali berulang gempa seperti itu.
Deakparujar tidak menyerah.  Melalui siasat "cinta palsu", dia berhasil memasung Raja Padoha di pangkal  tongkat Sipituulu Sisiatanduk. Â