Pulau Samosir itu didiami dua kelompok Batak Toba yang berbeda. Satu kelompok di utara, lainnya di selatan.
Mayoritas orang Batak Toba pasti buru-buru membantah pernyataan itu. Sebab bagi mereka orang Batak Toba itu adalah "satu kesatuan etnik".
Batak Toba itu satu? Tunggu dulu. Coba periksa ulang lisan pra-sejarah dan tulisan sejarah Batak Toba. Agar terkuak kebenarannya.
Dalam lisan pra-sejarah, mitologi Kejadian Batak, jelas disebut adanya dua kelompok Batak Toba. Pertama, kelompok keturunan Tateabulan atau Ilontungon, disebut belahan Tateabulan/Ilontungon (Lontung). Kedua, kelompok keturunan Isumbaon, disebut belahan Isumbaon (Sumba).
Tateabulan dan Isumbaon adalah dua dari tiga putra Si Raja Batak, "orang Batak pertama". Seperti halnya Si Raja Batak, Tateabulan (Lontung) dan Isumbaon (Sumba) bukanlah nama-nama persona. Itu adalah nama kolektif untuk komunitas-komunitas generasi awal orang Batak Toba.
Batas Samosir Utara dan Samosir Selatan adalah sebuah "garis imajiner" yang ditarik dari muara sebuah sungai kecil di pantai barat pulau, di sekitar Palipi, lurus memotong ke sebuah batu di semenanjung kecil di pantai timur pulau, di selatan Tomok.
Saya akan jelaskan mengapa ada pembagian pulau oleh dua belahan Batak Toba seperti itu. Namun sebelumnya saya perlu perkenalkan dulu Pulau Samosir secara ringkas.
Lalu memaparkan sedikit tentang dua belahan Batak Toba. Setelah itu baru menjelaskan pemenggalan Pulau Samosir berdasar domisili dua belahan Batak itu.
Geografi Samosir
Berada di tengah pulau Sumatra, Pulau Samosir, termasuk wilayah Kabupaten Samosir, dikelilingi hamparan perairan Danau Toba. Luasnya 640 km2, urutan kelima dunia untuk pulau terbesar di tengah danau. Danau Toba sendiri, 1,130 km2 adalah danau vulkanik terbesar di dunia.
Aslinya, Samosir adalah semenanjung yang menempel seperti janin pada kaki Gunung Pusuk Buhit. Tangkai "janin" itu adalah tanah genting di Pangururan.
Pada tahun 1905-1908, untuk memfasilitasi gerak penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda menggali sebuah terusan di tanah genting itu. Itulah Terusan Wilhelmina, atau "Tano Ponggol" (Tanah Patah), yang menjadikan Samosir menjadi sebuah pulau.