Guru Sekolah Minggu di Gereja Katolik Panatapan selalu menekankan perintah keempat itu kepada murid-muridnya. Salah satu contoh kongkritnya adalah larangan menyebut nama orangtua. Itu dianggap tidak hormat pada orang tua.
Larangan itu pula yang melekat pada benak Poltak. Terlebih dia melihat ompung baoa dan amongnya mengepal-ngepalkan tinju sembari melotot ke arahnya.
Dalam pikiran Poltak mereka sedang mengancam: "Awas kalau sampai menyebut nama ompung dan among. Ku libas kau!" Ya, wajarlah dia keder. Lalu kreatif mengubah bunyi Yesaya 11:1 seperti di atas.
Yah, beda tafsir kepalan tinju dan mata melotot antara anak dan bapak, antara cucu dan kakek. Hasilnya, Natal yang kacau.
Begitulah cerita pagi 26 Desember 2019 dari saya, Felix Tani, petani mardijker, sepanjang usia hanya sekali ikut marsipajojoron.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H